MOTTO

RUKUN DAMAI

OPTIMASLISASI PELAYANAN PUBLIK PADA KANTOR KEMENAG KABUPATEN KONAWE MELALUI SIMADU

INTELEKTUALITAS TANPA SILAYUKTI TANPA GUNA

INTELEKTUALITAS TANPA SILAYUKTI TANPA GUNA
Disaat pengetahuan hanya menjadi sebuah ajang untuk menunjukkan intelektualitas, kewibaan, kekuasaan, kebijaksanaan...yang berujung pada rusaknya moralitas dan kedamaian kehidupan....Saraswati dalam keheningan bertanya-tanya kepada Ia atau mereka yang seperti itu...?. Aparan ta prayojananika ring hurip, ring wibhawa, ring kaprajnan, apan wyartha ika kabeh, yan tan tan hana SILAYUKTI. (Sarasamuccaya 160)

WEBSITE UTAMA KANKEMENAG KABUPATEN KONAWE

WEBSITE UTAMA KANKEMENAG KABUPATEN KONAWE
Website Kantor Kementerian Agama Kabupaten dengan alamat : "www.simadu.info", adalah Website Utama sebagai Pusat Bank Data dan Informasi bagi seluruh satker di Lingkup KanKemenag Kab. Konawe. Sedangkan Website Satker Penyelenggara Bimas Hindu Kantor Kemenag Kab. Konawe adalah website jejaring yang terintegrasi dengan Website Utama KanKemenag Kab. Konawe. Klik gambar pada link ini untuk menuju ke Website Utama KanKemenag Kab. Konawe

Senin, 16 September 2019

"Kontruksi Keagamaan dan Keberagamaan Dalam Hindu" - Oleh : Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda

KONTRUKSI KEAGAMAAN 
DAN KEBERAGAMAAN DALAM HINDU *)

Oleh: Ida Pandita Mpu Jaya Acharyãnanda *)


I. PENDAHULUAN 
Agama Hindu dimanapun berada adalah agama yang dibudayakan. Artinya dimana agama Hindu itu berkembang di sana pulalah ia memperoleh kemasan atau cassingnya. Sehingga terkesan sebagai agama yang tidak memiliki standar kebakuan. Akibatnya muncullah tudingan dari fihak lain terhadap Hindu sebagai agama tradisi, buatan manusia, agama budaya, agama bumi (tabi’i) atau paganisme. Tudingan negatif semakin bertambah ketika nilai-nilai luhur agama direduksi dengan memposisikan adat sebagai panglima bagi agama Hindu. Wajah Hindu menjadi bias, sehingga kehilangan humanismenya dan menjadi diskriminatif. Kapasitas budaya sebenarnya adalah sebagai media untuk mensosialisasikan ajaran Veda dengan bahasa local agar sampai ajeg menjadi tradisi. Karena peranan budaya ini Hindu sebagai agama tertua warisan dunia masih eksis sampai saat ini, bandingkan dengan agama-agama kuno yang pernah hidup dan berkembang di dunia ini bersamaan dengan agama Hindu saat itu. Sebut saja agama Yunani Kuno, Mesir Kuno, Mesopotamia, Babylonia, Assyria dan lain-lainnya. Berdasarkan sejarah semua agama tersebut sezaman dengan Hindu, kemudian satu persatu berguguran. Lain halnya dengan agama Hindu, kendati usianya sudah sangat tua yakni 80 abad ( a.l.: menurut Tilak yang menggunakan cara astronomi Rg Veda, Veda yang tertua dikomposisikan sejak 6000 SM), namun masih tetap hidup subur dan jaya di permukaan bumi ini. Apakah yang menyebabkan ? Tentunya sangat menarik sekali, seandainya kini dapat disaksikan agama-agama yang sezaman dengan Hindu seperti yang disebutkan di atas masih ada di sekeliling kita. 



II. ISTILAH HINDU 
Nama Hindu sebenarnya tidak lahir dari founding father-nya dalam hal ini para Maha Rsi, seperti agama lain. Nama Hindu diberikan oleh orang yang datang di India sejak berabad-abad yang lalu. Mereka datang di India melalui celah-celah (pass) Kayber, di barat daya (north western) pegunungan Himalaya. Kata Hindu hanya berarti : orang-orang yang mendiami Lembah Indus (Indus Valley). Dari situ, keyakinan (faith) yang dianut oleh mereka itu kemudian dikenal sebagai Hinduisme. Sebenarnya istilah ekspresi yang biasa dipakai dalam kitab suci di India untuk Hinduisme, adalah Vaidikadharma dan Sanatanadharma yang berarti agama atau Veda-Veda dan agama yang kekal abadi ( faith ethernal). Kitab Veda sebagai kitab sucinya umat Hindu berisi sumber otoritas untuk ajaran Hindu, yang kemudian dalam sejarah perkembangannya menerima tambahan-tambahan dan interpretasi dalam literatur –literatur agama yang ditulis baik dalam bahasa Sanskerta maupun dalam bahasa-bahasa lainnya. Kebenaran Veda ini, adalah kekal abadi, karena berisi ajaran –ajaran realitas spiritual (spiritual reality) . 


III. KARAKTER AGAMA HINDU 
Sesungguhnya setiap agama mempunyai karakter , sifat atau ciri masing-masing, yang merupakan pola dasar proses perkembangan agama tersebut dalam perjalanan sejarah penyebarannya ke seluruh dunia. Karakter tersebut merupakan ciri khas sebuah agama, sehingga karakter itu sekaligus menjadi barometer pembeda antar agama di kawasan dunia ini. Agama Hindu sebagai salah satu agama besar dan paling tua di dunia, juga mempunyai karakter tersendiri. Karakter itu yang meyebabkan agama Hindu memungkinkan dirinya mengalami variasi dalam proses perjalanan sejarah panjang yang pernah dilaluinya sepanjang zaman. Laksana bola salju yang menggelinding semakin jauh, bola salju itu makin besar , dan sekaligus dalam perjalanannya tersebut di samping bola salju itu kian membesar, juga membawa serta apa yang dilaluinya dan dilandanya. Semakin jauh perjalanannya, semakin membesar bola salju itu dan berisi materi beraneka ragam yang menjadi kandungan bola salju tersebut. Demikianlah keadaan agama Hindu, semakin jauh dan beraneka macam daerah yang dilaluinya, semakin kaya dan beraneka rupa isinya. Muatan itulah yang menjadikan agama Hindu bervariasi keberadaannya di seluruh dunia. Namun demikian Hindu bukanlah agama yang tidak mempunyai prinsip atau standar baku. Religiusitas Hindu merupakan perjumpaan berbagai kreasi yang dapat mengusung visi dan misi Veda. Dalam hal prinsip Hindu mengusung sraddha atau keyakinan (faith) yang bersumber dari Tuhan diterima oleh para Maha Rsi berupa Wahyu (Sruti) sebagai sesuatu yang bersifat absolut atau kekal abadi (Sanatana). Kemudian bagaimana caranya mengembangkan yang absolut itu sehingga mudah diterima atau dicerna oleh penganutnya, dibutuhkanlah metodelogi sehingga sampai mewujud atau siap untuk diamalkan. Maka metode yang dilakukan berupa pendekatan yang disebut Nutana, yakni pembumian Sraddha yang abstrak tersebut dalam konsep dan konteks nyata sesuai behavior dan ajusment di mana Hindu tersebut berkembang dan tuntutan zaman. Sehingga dengan demikian pembumian ajaran Hindu sangat adaptif sekali karena sifatnya dinamis dan relatif. Pendekatan Nutana ini meliputi; ajaran mengenai konsep bentuk Tuhan yang bisa dipilih ( Istadevata ) dan ajaran tentang disiplin ataupun jalan (marga) yang juga bisa dipilih. 


3.1 Istadevata
Dari ajaran dasar Istadevata yakni suatu kebebasan yang diberikan kepada penganut Hindu untuk memilih bentuk dan nama Tuhan, yang diterangkan oleh kitab suci Veda. Apakah Personal God (Tuhan Berpribadi) atau Impersonal God (Tuhan yang tidak berpribadi) sebagai obyek pemujaan, sepanjang dilandasi sraddha dan kemantapan hati nurani atau atmanastusti. Ajaran dasar Istadevata ini memberikan keunikan pada Hindu terutama pada teologinya. Sehingga berbagai evolusi isme tentang ke Tuhanan dapat diakomudasi oleh Hindu, dari yang primitif seperti keyakinan animisme sampai yang post modern . Sehingga Max Muller yang banyak menyelidiki Hinduisme pada abad ke 19 sangat terpesona terhadap bentuk-bentuk pemujaan deva-deva dalam agama Hindu. Menurut Max Muller, bahwa Hinduisme bukanlah agama polytheisme. Jika seandainya di dalam agama Hindu, terdapat seseorang yang telah memilih satu deva tertentu untuk dipuja, sesuai dengan apa yang tercantum di dalam kitab sucinya, maka deva-deva yang lainnya secara otomatis menjadi sub atau bagian dari deva yang dipuja. Kedudukan para deva lainnya langsung berada di bawah deva yang dipujanya. Bentuk pemujaan seperti ini sangat berlainan derngan polytheisme, yakni kedudukan antara deva yang dipuja dengan para deva lainnya sejajar dan sama, bahkan masih ada kompetisi kekuatan di antara para deva tersebut. Sehubungan dengan itu Max Muller kemudian menyebut agama Hindu sebagai agama Henotheisme, yakni keyakinan terhadap Yang Esa dalam Yang Banyak, seperti tertuang dalam tattva di Bali “Eka Tva Aneka Tva Svalaksana Bhatara”. Dia juga menyebutkan Hindu sebagai Kathenoisme, di mana adanya deva tertinggi yang pada suatu masa akan digantikan oleh deva yang lain sebagai deva tertinggi. Satu contoh dahulu di zaman Veda api di kuasai oleh Agni. Saat ini di Bali devanya api adalah Brahma. Lain lagi pendapat Prof Murti, mengatakan Hiduisme adalah pantheisme, suatu keyakinan yang menganggap di mana-mana serba Tuhan atau setiap aspek alam digambarkan dikuasai oleh Tuhan. Adanya ajaran dasar Istadevata memberikan pilihan yang demokratis kepada umat Hindu untuk mengapresiasi Tuhan dengan berbagai wujud dan nama-Nya. Dengan demikian Hindu sangat berbeda pandangannya tentang Tuhan jika dibandingkan dengan agama lain. Agama-agama Smith mendoktrinkan nama Tuhan dan sifat-Nya sebagai suatu final. Sementara Hindu tidak jatuh bangun dengan satu nama Tuhan. Di India seiring dengan bergulirnya sang waktu, dasar ajaran Istadevata inilah kemudian melahirkan berbagai garis perguruan yang disebut Sampradaya. Sampradaya ini mendapat tempat penyemaian yang subur pada zaman Purana, dibuktikan dengan munculnya pemujaan terhadap Deva Brahma, Visnu dan Siva. Kemudian pada zaman belakangan muncul pula pemujaan terhadap sakti yang melahirkan ajaran Sakta, yakni pemujaan kepada Tuhan dalam aspek feminum/ wanita sebagai Yang Maha Pemberi berkah. Penonjolan pemujaan terhadap salah satu aspek Tuhan seperti ; Brahma Visnu dan Siva maupun Sakti seakan-akan memunculkan faham yang bersifat sekterian. Mengingat setiap bentuk pemujaan kepada Tuhan dengan pilihan deva di atas akan menetapkan ajaran teologinya tersendiri, yang kadang-kadang terkesan fanatik dan bersifat eksklusif. Hal ini terjadi sebagai akibat dari direduksinya ajaran paedagoginya. Demikian pula di Bali sebagai tempat yang subur tumbuh berkembangnya Hinduisme maupun Buddha, mengikuti pula pola pengembangan agama yang ada di negeri induknya. Di Bali pada zaman dahulu tidak dikenal dengan sampradaya, namun istilah ini paralel dengan Paksa yang mulanya berarti sayap kemudian memiliki makna aliran. Berdasarkan penelitian Goris tahun 1926 menyebutkan, bahwa di Bali telah berkembang sembilan sekte/paksa yang terdiri dari Saiva Siddhanta, Pasupata, Bhairawa, Vaisnava, Boddha, Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya. Kehadiran Mpu Kuturan ke Bali di awal abad XI merupakan pelopor yang mempersatukan seluruh paksa itu di bawah naungan Saiva Siddhanta hal tersebut berdasarkan dokumen literel yang kita warisi di Bali. Mengingat Saiva Siddhanta sangat akomudatif dalam tataran Sadasiva Tattva untuk menerima Isatadevata yang delapan itu. Kemudian berdasarkan sumber-sumber Tattva di Bali berupa dokumen literel, seperti Bhuvana Kosa, Vrhaspati Tattva, Jnana Siddhanta, Tattva Jnana dalam teologinya menempatkan Siva sebagai Istadevata/ azas tertinggi sebagai Tuhan. Bukti ini sangat jelas menunjukkan bahwa umat Hindu di Bali adalah penganut Istadevata Siva atau Saivapaksa. Faham ini bisa diterima mengingat ajarannya sangat demokratis dan egaliter, mengakui adanya persamaan dan kesetaraan bagi penganutnya. Namun belakangan wajahnya menjadi bias begitu elit-elit dari sekte ini bersinergi dengan kepentingan elit politik yang mendukungnya. Bagi elit dari sekte yang didukung oleh negara atau berhasil tampil sebagai elit yang berkuasa, akan memonopoli keagamaan melalui koersi negara atau politik. Hal ini akan membawa konsekwensi pada putusan politik yang merugikan umat yang dipimpinnya. Sikap menentang berarti melawan negara bahkan dianggap sebagai suatu penghianatan. Aliansi agama dengan negara akan menimbulkan eksploitasi yang luar biasa terhadap konsep agama. Misalnya Hindu memiliki konsep Catur Varna (pembagaian masyarakat berdasarkan profesinya) menjadi bias akibat dikelola secara politik menjadi Catur Vangsa (pembagian masyarakat berdasarkan geneologisnya). Situasi yang demikian ini secara sosiolologis menciptakan status atas versus status bawah, (Siva-Sisya, Ratu-Panjak). Untuk mengajegkan kondisi di atas pelaksanaan keagamaan diciptakan sistem ketergantungan antara Sisya dengan Siva –nya. Maka diafiliasilah ajaran Saiva Siddhanta dengan Tantra Bhairava yang kemudian melahirkan prilaku keagamaan yang lebih membobotkan pada pelaksanaan ritual dengan berbagai macam simbolnya demi memperoleh visesa/ daya magis. Sehingga timbul kesan sifat ajarannya menjadi tertutup / rahasia. Hanya orang-orang tertentu saja yang boleh mempelajarinya terutama dari Status Atas. Sedangkan bagi Status Bawah prilaku keagamaan cukup dengan mengadakan tindakan ritual saja. Posisi ajaran yang demikian ini menempatkan Saiva yang bercorak Tantris ke dalam pola keberagamaan yang Arkais / primitif. 


3.2 Adhikara 
Dari ajaran dasar Adhikara, memberikan kebebasan kepada penganut agama Hindu untuk memilih disiplin spiritual, tatacara kebaktian /upasana maupun kreasi yang sesuai dengan budaya, kemampuan dan kesenangan serta kemantapan hati (atmanastusti) si penganut Hindu. Bagaimana cara melaksanakan pemujaan dan dengan sarana apa saja yang dipakai untuk pemujaan itu, adalah sangat bergantung dan terserah selera si pemuja. Sepanjang visi dan misi Veda terakomudasi dalam berbagai kreasi tersebut. Akibat dari ajaran dasar ini banyak kemudian ditemukan tradisi-tradisi /acara yang berbeda dalam penerapan ajaran agama Hindu. Tradisi yang berbeda ini dengan berbagai variasinya ini di jamin oleh pustaka suci Bhagavadgita sebagai berikut. “ Ye yatha mam pradyante, tams tathai’ vaa bhajamy aham mama vartma’ nuvartate, manusyah partha sarvasah.” (B.G IV.11) Terjemahannya; Jalan manapun ditempuh manusia ke arah-Ku semuanya Ku terima Dari mana- mana semua mereka menuju jalan- Ku oh Partha. “Yo-yo yam yam tanum bhaktah sraddhaya rcitum icchati, tasya-tasya calam sraddham, tam eva vidadhamy aham.” (B.G. VII.21) Terjemahannnya. Apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama, dengan bentuk apapun keyakinan yang tak berubah-ubah itu sesungguhnya Aku sendiri yang mengajarnya. Menurut versi Bhagavadgita ini jalan dan disiplin yang bisa di tempuh terakomudasi menjadi 4 jalan yang disebut dengan Catur Yoga Marga untuk menuju Tuhan. Bervariasinya jalan dan disiplin yang diberikan kepada umat Hindu merupakan bentuk penghargaan kepada individu, bahwa religiusitas seseorang merupakan sesuatu yang paling azasi dalam hidup manusia, yang tidak dapat dipengaruhi oleh orang lain. 


IV. LANDASAN PIJAKAN AGAMA HINDU 
Munculnya konsep dasar ajaran Istadevata dan Adhikara dalam Hindu berdasarkan pandangan umat Hindu, bahwa kitab Suci Veda itu bersifat apaurushya (tidak dibuat oleh manusia), nitya (kekal abadi). Veda itu diperoleh melalui revalations atau sruti (wahyu) yang diterima oleh para Maharsi . Namun karena keterbasan yang dimiliki oleh manusia belum jivan mukti, inilah yang mengakibatkan interpretasi terhadap Veda belum sempurna. Hal itu pula yang menyebabkan agama Hindu lahiriahnya dikontruksi dari berbagai aliran filsafat, bahkan berbagai aliran sekte dan agama, yang mampu hidup bertahan sejak zaman India kuno, dari bentuk pemujaan yang bercorak primitif sampai bentuk monotheistik dan monistik yang tinggi dapat dijumpai dalam ajaran Hindu. Agama Hindu berpendirian, bahwa setiap bentuk pemujaan dianggap sebagai satu langkah maju yang sangat berguna untuk menuju keadaan yang lebih tinggi. Bahkan setiap bentuk pemujaan itu dipandang dengan toleran dan pengertian yang sangat mendalam. Agama Hindu tidak memaksa akan adanya keseragaman bentuk pikiran dan cara berpikir serta dalam praktek. Agama Hindu menyadari, bahwa setiap manusia memiliki pikiran, ucapan dan tindakan yang beraneka ragam, bahkan menyadari bahwa setiap manusia berada pada tingkat perkembangan spiritual yang berbeda. Sehubungan dengan itu, Mahatma Gandhi mengatakan bahwa,” Hinduism adalah sebuah organisme hidup, yang dapat berkembang dan juga mati, dan merupakan subjek hukum Nature (Tuhan). Akarnya begitu besar dan kuat, yang sudah tumbuh pada pohon yang besar, dengan cabang dan ranting yang tidak terhitung jumlahnya. Perubahan musim mempengaruhinya; dia mempunyai musim gugur, musim panas, musim dingin dan musim bunga. Dengan kata lain , Max Muller mengatakan, bahwa agama Hindu menpunyai kamar untuk setiap agama dan agama Hindu merangkul mereka dengan toleran. Begitu juga pedapat Dr. K. M. Sen mengatakan, bahwa definisi agama Hindu lebih menyerupai sebatang pohon yang tumbuh perlahan-lahan, dibandingkan dengan agama lain ibarat sebuah bangun megah yang dibangun oleh arsitek besar, pada saat tertentu dan dalam satu waktu tertentu pula. Lain dari pada itu, agama Hindu tidak menekankan faithnya (keyakinannya) kepada seorang Rsi atau Nabi . Hal itu disebabkan, adanya pandangan bahwa jalan menuju Tuhan sangat luas pada vision yang terus menerus dan experience pada Tuhan yang tiada henti-hentinya. Tuhan ada tanpa awal tanpa akhir. Sehubungan dengan hal itu, Radhakrisnan juga menyatakan, bahwa Hiduisme lebih merupakan suatu cara hidup daripada suatu bentuk pemikiran. Ketika dia memberikan kebebasan mutlak dalam dunia pemikiran, agama Hindu menekankan satu etika dan disiplin”. Seterusnya ia melanjutkan, bahwa agama Hindu tidak menekankan pada bidang kecocokan interpretasi agama, tetapi pada satu spiritual dan etika dalam kehidupan. Jadi, agama Hindu terlihat terdiri atas banyak sekte dan ideologi. Namun semua sekte itu dianggap sebagai interpretasi yang berbeda atas satu Reality yang sama, serta sekte-sekte itu pada hakikatnya adalah cara yang berbeda untuk mencapai goal atau tuijuan yang sama. Dengan kata lain, bahwa keanekaragaman itu bukan bentuk akhir /final agama Hindu, tetapi semua bentuk atau sekte itu adalah laksana untaian sebuah persatuan dan kesatuan. Kesatuan (unity) itu dapat ditemukan dalam nilai-nilai dan tujuan (goal) terakhir yakni, Moksa, serta beberapa konsep filsafat mereka yang sama misalnya, karma, samsara, atma dan Brahman, dibalik yang dianut oleh semua aliran atau sekte yang beraneka ragam itu. Walaupun beraneka ragam tetapi tujuannya sama. Contoh berikut ini semua akan menjelaskan, mengapa konsep filsafat yang kelihatannya bertolak belakang seperti Monisme (hanya Tuhan yang real) Sankara, dan dualismenya Madhva (kapan hamba dapat menyembah kaki—Mu) dari aliran Bhakti, tidak menimbulkan konflik kekerasan . Landasan pijakan di atas spiritual lines yang menyebakan agama Hindu tetap rukun secara internal. Kemasannya akan menyesuaikan irama perkembangan dan perubahan alam semesta dan zaman dipermukaan bumi ini. Landasan spiritual lines sebagai tempat berpijak agama Hindu, sangat universal, umum. Oleh sebab itu untuk menerangkan prinsip-prinsip agama Hindu kepada orang yang belum familiar dengan agama Hindu, merupakan usaha yang sulit dan tidak mudah. Sebab istilah-istilah dalam agama Hindu, sulit sekali dicarikan padanan katanya dari bahasa lain. Hal itu disebabkan karena istilah-istilah tersebut merupakan mengungkapan spiritualitas umat Hindu, yang sangat berbeda jauh dengan spiritualitas dari umat lain. Dengan karakter Istadevata dan Adhikara tersebut, agama Hindu merangkul semua tradisi dan budaya penganutnya. Hal itu yang menimbulkan keaneka ragaman bentuk dan cara pelaksanaan upacara keagamaan di seluruh dunia. Bahkan di dalam Manava Dharmasastra dicantumkan bahwa sumber hukum agama Hindu ada lima; Sruti, Smerthi, sila, acara dan atmanastusti. 


V. CORAK KEBERAGAMAAN DALAM HINDU 
Terakomudasinya berbagai kreasi, budaya, tradisi dan berbagai tingkat perkembangan spiritual dalam ajaran Hindu menyebabkan agak kesulitan untuk menjawab pertanyaan; “Apakah Hinduisme itu ? Sepintas ia seperti campur sari, persahabatan dari berbagai keyakinan dan juga gabungan filsafat yang memberi hidangan guna perenungan bagi para pemikir yang berbeda di seluruh muka bumi ini. Landasan dalam Hindu semua jenis filosofi diperlukan. Apa yang menarik bagi seseorang, belum tentu menarik bagi orang lain. Dan apa yang mudah bagi seseorang kemungkinan sulit bagi orang lain. Oleh karena itu diperlukan pandangan yang berbeda dan semua filsafat Hinduisme adalah sudut pandangan tersebut yang benar menurut cara mereka sendiri. Ia menuntun para calon spiritual selangkah demi selangkah, setahap demi setahap, hingga mereka mencapai puncak kemuliaan spiritual. Bertitik tolak dari pemikiran di atas itulah yang menyebabkan Hindu hadir dengan berbagai kemasan sesuai tingkat pendukung kebudayaan suatu masyarakat. Hindu dapat tampil dengan wajah primitif dengan animismenya, kekunaan dengan budaya agriculternya, agama historis dengan transendentalisme dan dualismenya, agama modern dengan rasionalisasinya maupun tingkat keberagamaan post modern dengan spiritualnya. 


5. 1 Agama Primitif 
Pada corak keberagamaan primitif secara umum dikenal budaya pra agama tindakan-tindakan relegi terproyeksi ke dalam aneka macam kepercayaan seperti; 

5.1.1 Animisme, Keyakinan akan adanya roh, bahwa segala sesuatu di alam semesta ini didiami dan dikuasai oleh roh yang berbeda-beda pula. Corak keyakinan seperti ini masih kental ditemukan dalam umat Hindu yang sama sekali tidak tersentuh dengan pencerahan. Adanya keyakinan tempat-tempat keramat/tenget seperti di Bali. 

5.1.2 Dinamisme, Keyakinan terhadap adanya kekuatan-kekuatan alam atau pada benda-benda tertentu. Kekuatan alam ini dapat berupa mahluk (personal) atau tanpa wujud. Secara umum umat Hindu di Bali masih sangat mempercayai kekeuatan-kekuatan tersebut yang ada pada benda-benda teruma yang dianggap bertuah seperti keris, batu permata yang tergolong paica. 

5.1.3 Totemisme Keyakinan akan adanya binatang keramat yang sangat dihormati. Binatang tersebut diyakini memiliki daya magis. Umumnya adalah binatang mitos, juga binatang tertentu di alam ini yang dianggap keramat. Totemisme masih sangat kental ditemukan di Bali. Binatang-binatang keramat itu dipandang sebagai anak buah (rencang atau ancangan maupun unen-unen) dari Tuhan, yang mempunyai tugas sebagai penjaga suatu tempat keramat, seperti ular dan kelelawar di pura Gaoa Lawah. Binatang dalam bentuk mitos seperti; Barong Ketket, Barong Macan, Barong Bangkal dan binatang mitos lainnya seperti Ular Raksasa/Naga. 

5.1.4 Magi Keyakinan akan adanya praktik sihir. Pada corak keberagamaan yang bersifat magi manusia yakin bahwa secara langsung mereka dapat mempengaruhi kekuatan alam dan antar mereka sendiri, entah untuk tujuan baik atau buruk. Adanya praktek teluh misalnya merupakan ekpressi dari corak keberagamaan model ini . Magi terbagi dalam dua jenis; tiruan dan sentuhan. Magi tiruan di dasarkan pada prinsip kesamaan dalam bentuk atau dalam proses seperti foto atau gambar. Magi sentuhan didasarkan pada hukum sentuhan fisik atau penularan. Penularan ini dapat mencelakai orang kalau diperoleh rambutnya, kuku atau secarik kain yang pernah bersentuhan. Dalam sistem ritual/upacara seperti di Bali, yang bersandar pada budaya Tantris yang lebih mengutamakan daya magis (visesa). Praktik magi adalah hal yang biasa, seperti penggunaan berbagai sesaji dengan segala suplemennya adalah sesungguhnya merupakan praktik magi. Ada unsur darah sebagai bahan dasar kehidupan (pengurip-urip) melalui tabuh rah, nyambleh. Unsur keserupaan diwujudkan dengan Cili dan pengarcaan /icon jika merupakan kekuatan suci (urinian power). Tiruan demonic untuk kekuatan bawah (stonian power). Tradisi merajah, mabija, mapetik/potong rambut, matatah/potong gigi adalah praktik dari wujud magi sentuhan. 

1.1.5 Ancestor Worship (Pemujaan leluhur). 
Pemujaan leluhur dapat dirumuskan sebagai suatu kumpulan sikap, kepercayaan dan praktik berhubungan dengan pendewaan orang-orang yang sudah meninggal dalam suatu komunitas, khususnya dalam hubungan kekeluargaan. Akan tetapi, ada banyak kasus di mana orang mati tidak diilahikan, melainkan dianggap sebagai mahluk-mahluk yang berkuasa yang kebutuhannya harus dipenuhi. Kedua bentuk pemujaan tersebut mengandaikan bahwa leluhur yang telah meninggal sebenarnya masih hidup dalam wujud yang efektif dan rim campur tangan dalam kehidupan manusia, oleh karenanya harus ditenangkan atau bahwa kegiatan manusia sendiri dapat mengembangkan kesejahteraan leluhur yang telah meninggal dalam kehidupan berikutnya. Upacara pitrayajna sampai dengan ngelinggihang di Sanggah Pemerajan di Bali merupakan penjabaran dari wujud penghormatan dan pemujaan kepada leluhur, yang sesungguhnya berakar pada keragamaan yang bersifat rimitive . Mengingat pemujaan kepada leluhur sesungguhnya telah dimulai sejak zaman purba. Bukti secara arkeologis dapat ditemukan dari zaman megalitikum, dengan ditemukannya punden berundak, yang kemudian menjadi bebaturan atau tempat pemujaannya disebut Batur Kalawasan. 


5.2 Agama Arkais (Kuna)
Apa yang dinyatakan Robert Bellah, ciri agama Arkais adalah munculnya pemujaan sejati dengan jaringan deva-deva, para imam, penyembahan, pengorbanan, dan dalam beberapa kasus, raja yang sekaligus memegang wewenang kepimpinan agama (Pandita-Ratu) atau sebaliknya Ratu Pandita. Selain ciri di atas, corak keberagamaan model ini dicirikan dengan adanya pembobotan pada pemujaan dengan pelaksanaan ritual. Kemudian ciri organisasi keagamaannya dinyatakan masih menyatu dengan struktur lainnya. Kemunculan dua kelas, yang terkait dengan meningkatnya kepadatan penduduk yang dimungkinkan oleh agriculture. Kelompok status atas, yang condong memonopoli kekuasaan militer politik dan agama, biasanya mengklaim diri memiliki status keagamaan yang lebih tinggi. Keluarga-keluarga ningrat bangga dengan garis keturunan mereka yang berasal dari deva-deva yang kerap kali memainkan peran-peran keimaman. Pandita Ratu/ divine king, yang merupakan penghubung utama antara rakyat dan para deva. Corak keberagamaan arkais ini sangatlah bersifat konvensional, dengan menitik beratkan pada dimensi ritual yang masih dilandasi oleh jaringan mithos. Simbol-simbol keagamaan yang digunakan dalam ritual kian memperoleh karakter yang tegas. Terkait dengan aspek sosiologi terciptanya masyarakat Status Atas versus Status Bawah (Siva-Sisya, Ratu-Panjak). Realita ini menambah semakin rumitnya pelaksanaan ritual keagamaan. Salvasi didefinisikan sebagai suatu keteraturan dinyatakan dalam sistem simbolik yang relatif stabil disertai dengan-peran-peran kaum imam. Sikap monopoli Status Atas yang mengklaim diri memiliki status keagamaan lebih tinggi. Tindakan keagamaan menjadi formal dengan aturan yang sangat rumit. Keselamatan dunia sangat tergantung dari peran kaum Imam (Masyarakat Status Atas). Keluar dari sistem itu dianggap pengingkaran terhadap penyelamatan., seperti Ngutang Siva, Ngutang Pagustian. Fenomena beragama model inilah yang masih sangat kental dilaksanakan dan mendominasi kehidupan keagamaan di Bali saat ini. 


5.3 Agama Histori
Corak keberagamaan model ini ditandai dengan munculnya dalam masyarakat-masyarakat yang sedikit banyak sudah beraksara mengenal dokumen tertulis/literal. Agama model ini telah memasuki disiplin sejarah dan meninggalkan disiplin arkeologi atau etnografi. Kriteria yang membedakan agama Historis dari agama-agama Arkais adalah bahwa semua agama Historis dalam pengertian tertentu bersifat transenden. Sifat keberagamaan model ini adalah dualistis. Sifat yang demikian ini diekspresikan dalam perbedaan antara dunia kini dan kehidupan setelah mati. Jika pada corak keberagamaan primitif dan arkais berpusat pada dunia ini, sekarang cendrung berpusat pada kehidupan lain, yang mungkin sangat baik atau dalam situasi-situasi tertentu dengan munculnya konsepsi yang berbeda-beda tentang neraka, sangat buruk. Lahirnya berbagai aliran keagamaan dalam Hindu yang disebut sampradaya merupakan bukti corak keberagamaan model ini. Dalam sudut pandang corak beragama model ini manusia tidak lagi didefinisikan terutama dari segi asal suku atau klannya, atau dari segi Tuhan yang disembah, melainkan sebagai mahluk yang mampu meraih keselamatan. 


5.4 Agama Modern 
Corak keberagamaan modern bangkit seiring dengan peradaban manusia memasuki tatanan hidup industri. Industrialisasipun memasuki ranah keagamaan, budaya rasional, efisien, mekanik ikut mempengaruhi religiusitas masyarakat. Pada tatanan model ini agama tidak hanya diyakini, tapi lebih banyak dipertanyakan. Karena kehadiran agama dirasakan tidak cukup dijabarkan pada dimensi ritualnya saja. Bagi kaum rasionalis fungsi penyelamatan /salvasi dari suatu agama, harus dapat mengakomudasi berbagai dimensi, seperti; ideologis, ritualistik, eksperensial, intelektual dan dimensi konsekuensial. Jika agama yang dianut oleh kaum rasional ini dirasa tidak dapat menampung berbagai dimensi tersebut di atas, akan menyebabkan seseorang atau masyarakat memilih keyakinan yang lain dengan meninggalkan keyakinan sebelumnya. Konversi ini merupakan bentuk perlawanan untuk mengadakan perubahan. Konversi tidak harus diartikan perpindahan yang bersifat eksternal, misal dari Hindu ke Kristen. Pindah jalan dalam satu agama juga dikatakan sebagai konversi internal seperti banyak umat Hindu di Bali masuk sampradaya yang belakangan muncul dari India, Hare Krsna, Radaswami, Bahma Kmaris, Ananda Marga. Selain mengkonversi secara internal dan eksternal, munculnya wacana penyederhanaan bentuk ritual serta pemahaman tattva dan pelaksanaan susila yang seimbang, merupakan produk dari agama yang bercorak modern. Agama masuk dalam hitungan matematis dan filosofis. 


5.5 Agama Post Modern 
Dalam keberagamaan Post Modern kehadiran Tuhan sebagai sentra komando yang bersifat transendental dalam agama dirasakan gagal membawa misi dan visi perdamaian ataupun penyelamatan. Maka dalam pemahaman corak keberagamaan model ini seseorang akan meng-upgrade dirinya ke wilayah personal sebagai sari pati dari kehidupan yang memiliki sifat-sifat yang universal. Wilayah itulah yang disebut spiritual. Batas agama yang satu dengan agama lainnya sering kabur bagi penganut spiritualis. Penziarahan untuk mencari Tuhan tidak lagi dalam wilayah transenden melainkan beralih aluan ke wilayah imanent. Wilayah agama model begini lebih mementingkan potensi pengembangan diri untuk menentukan pilihan guna merubah arti kelahiran yang tidak hanya sebatas hewani menuju pada insani. Dengan memilih proses menjadi insani dimulai, dengan memilih pula tanggung jawabpun dimulai. Ketepatan untuk memilih ini dimungkinkan jika seseorang memiliki kematangan spiritual. Dalam ajaran Hindu dasar-dasar spritual telah di letakkan sejak zaman upanisad. Renungan dan hasilnya dalam bentuk wacana-wacana bijak adalah sebuah penemuan diri. Atas dasar spiritualitas inilah Hindu menjadi suatu agama yang tidak final. Setiap penganutnya dipersilahkan melakukan pencarian ke dalam diri sebagai penziarah-penziarah dalam wilayah psikis. M.K Gandhi merupakan tokoh yang sangat tersohor dari keberagamaan model ini. Kita temukan pula Anand Krisna, serta tokoh lokal kita Gede Parama. 


VI. PENUTUP 
 Begitu pleksibelnya spirit Hindu yang dapat memasuki cassing berbagai culture adat dan tradisi yang ada, merupakan keunggulan untuk dapat bertahan dan survival sepanjang zaman. Karena tradisi, adat istiadat serta budaya yang disebut dengan Acara, memiliki kapasitas sebagai media untuk mensosialisasikan ajaran Veda dengan bahasa lokal, agar sampai ajeg menjadi tradisi atau Adat Hindu yang kuat, serta memiliki sifat yang kenyal dan elastis. Namun jika salah memposisikan adat dan tradisi ditambah lagi dengan penanganan yang lebih banyak berpegang pada arogansi kekuasaan, dan berbagai intrik, yang semestinya adalah agama yang diadatkan, tapi yang terjadi adalah adat yang diagamakan. Nilai-nilai luhur agama mengalami reduksi disebabkan oleh peran Adat menjadi Panglima bagi agama Hindu di Bali. Wajah Hindu mengalami bias, sehingga kehilangan humanismenya dan menjadi diskriminatif, seperti direduksinya ajaran Catur Varna menjadi Catur Vangsa. Situasi yang demikian ini merupakan lahan yang empuk timbulnya konflik secara internal, seperti diskriminasi dalam muput yajna, kasepekang, kanoreyang serta masih banyak kasus-kasus adat atas nama agama. Berkutatnya umat Hindu di Bali dengan permasalahan adat yang dicampur baurkan dengan agama, tak pelak mengundang tudingan yang tak sedap dari pihak lain, dengan menyebutkan Hindu sebagai agama tradisi, buatan manusia, agama budaya, agama bumi (tabi’i) atau paganisme. Walaupun telah dilakukan resistensi dengan mengutip sumber teks, Hindu mengalir dari Veda, diwahyukan oleh Tuhan melalui para Maharsi merupakan ajaran yang bersifat “SRUTI”, yang artinya “yang didengar” , bukan buatan manusia atau apauruseyam. Namun tetap saja ada pihak-pihak tertentu luar maupun dalam yang memanfaatkan agama Hindu untuk melanggengkan hegemoninya di dalam umat Hindu sendiri. Jadi antara pernyataan dan kenyataan sebagai sesuatu yang sangat paradoks. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar