Disebut Durhaka Bila Pindah Agama,
Hak Waris Hilang Menurut Hukum Hindu )*
Warisan hal yang lumrah didapat seorang anak dari orang tuanya, bila ada warisan yang ditinggalkan. Namun, tidak semua anak berhak mendapatkannya.
Gbr. Photo : Prof. Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si. |
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, Prof. Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si. memaparkan,kedudukan ahli waris menurut hukum Hindu dan adat Bali sesuai dengan Manawadharmasastra IX.159 yang berbunyi : Anak sah dari seseorang, anak yang lahir hubungan dengan istri, anak angkat, anak yang dijadikan, anak yang lahir dengan rahasia, anak yang dipungut, kesemuanya adalah anak yang mewaris dalam keluarga.
"Dalam Manawadharmasastra IX dari 143-144,147, 201, 213, 214 menerangkan ada beberapa kriteria anak kehilangan hak warisnya," papar Gusti Ngurah Sudiana yang juga Rektor Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar ini, saat Pesamuhan Madya IV Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, Selasa ( 10/9) di Gedung Sekretariat PHDI Bali, Denpasar.
Gusti Ngurah Sudiana yang membawakan materi tentang Hak dan Kewajiban Ahli Waris Menurut Hukum Hindu dan Hukum Adat Bali ini, mengatakan, hak waris hilang jika ahli waris menolak, dan kasus model ini terjadi karena keluarga kaya raya. Hak waris juga akan hilang terhadap anak angkat yang dalam syarat mengangkat jadi anak tidak memenuhi syarat.
Ketika ahli waris punya cacat, seperti penyakit kejiwaan,lanjutnya, hak waris yang bersangkutan juga hilang. Ditambahkannya, dalam praktik hukum Hindu yang masih hidup di Bali ada beberapa hal yang menyebabkan hak waris seseorang hilang, salah satunya jika beralih ke agama lain atau pindah agama.
“Jika pindah agama maka si pewaris tidak lagi berhubungan dengan Sanggah Kemulan, banjar, desa, dan Kahyangan Tiga, sehingga hilang sudah hak warisnya,” ucapnya.
Selanjutnya jika anak laki-laki kawin nyeburin (nyentana), hak warisnya juga akan hilang. "Jika ahli waris pindah agama sekaligus kawin nyeburin. Jika anak tersebut durhaka pada orang tua maupun leluhur. Dan, jika anak telah diangkat oleh orang lain menjadi anak mereka, maka hak warisnya juga akan hilang," terang Gusti Ngurah Sudiana.
Mengenai anak yang pindah agama tidak mendapatkan waris, karena dinilai sudah termasuk perbuatan durhaka. Dinilai durhaka, sebab meninggalkan agama yang dianut oleh orang tua dan leluhurnya.
Gusti Ngurah Sudiana membeber sejumlah dasar hukum tentang masalah hak waris yang hilang jika pindah agama. Mulai dari putusan peradilan Zaman Kerta, dimana hukum adat Bali sesuai Peradilan Kerta Denpasar tertanggal 3 Agustus 1933, putusan pengadilan Kerta, 21 Februari 1938. Kemudian berdasarkan pengadilan Kerta Tabanan 18 Juli 1939, dan pengadilan Kerta Lombok Cakranegara, 3 Oktober 1947. "Semua keputusannya menyatakan ahli waris yang pindah agama, tidak dapat mewarisi kekayaan orang tuanya," paparnya.
Dalam pertimbangan keputusan pengadilan itu, lanjutnya, karena orang pindah agama tidak mau patuh pada leuhurnya. "Tidak mau membiayai beban-beban keagamaan yang ada hubungannya dengan si pewaris, seperti kewajiban di banjar, pura, adat, keagamaan dan lain sebagainya. Sehingga hak warisnya dinyatakan hilang," katanya.
Sedangkan hak dari seorang ahli waris yakni mendapatkan warisan, dipelihara, diberikan pendidikan dan diberikan perlindungan. Sedangkan kewajiban dari ahli waris adalah melakukan Pitra Yadnya, seperti Ngaben untuk orang tua, melunasi utang si pemberi waris, melakukan upacara Dewa Yadnya di Sanggah Kemulan dan menggantikan peran orang tuanya di desa adat.
Gusti Ngurah Sudiana tak menampik belakangan ada kasus umat pindah agama yang menuntut hak waris. Tentu saja kasus seperti itu bikin unat resah karena ketidak pahaman.
Sumber :
)* Di ambil dari tulisan Agus Sweca Merta – Editor : I Putu Suyatra - Denpasar, Bali Express.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar