MOTTO

RUKUN DAMAI

OPTIMASLISASI PELAYANAN PUBLIK PADA KANTOR KEMENAG KABUPATEN KONAWE MELALUI SIMADU

INTELEKTUALITAS TANPA SILAYUKTI TANPA GUNA

INTELEKTUALITAS TANPA SILAYUKTI TANPA GUNA
Disaat pengetahuan hanya menjadi sebuah ajang untuk menunjukkan intelektualitas, kewibaan, kekuasaan, kebijaksanaan...yang berujung pada rusaknya moralitas dan kedamaian kehidupan....Saraswati dalam keheningan bertanya-tanya kepada Ia atau mereka yang seperti itu...?. Aparan ta prayojananika ring hurip, ring wibhawa, ring kaprajnan, apan wyartha ika kabeh, yan tan tan hana SILAYUKTI. (Sarasamuccaya 160)

WEBSITE UTAMA KANKEMENAG KABUPATEN KONAWE

WEBSITE UTAMA KANKEMENAG KABUPATEN KONAWE
Website Kantor Kementerian Agama Kabupaten dengan alamat : "www.simadu.info", adalah Website Utama sebagai Pusat Bank Data dan Informasi bagi seluruh satker di Lingkup KanKemenag Kab. Konawe. Sedangkan Website Satker Penyelenggara Bimas Hindu Kantor Kemenag Kab. Konawe adalah website jejaring yang terintegrasi dengan Website Utama KanKemenag Kab. Konawe. Klik gambar pada link ini untuk menuju ke Website Utama KanKemenag Kab. Konawe

Sabtu, 14 September 2019

"Tradisi Dalam Agama Hindu" Oleh : Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda


TRADISI DALAM AGAMA HINDU *)

Oleh: Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda


I. PENDAHULUAN
         Pelembagaan ajaran agama Hindu tidak dapat dipisakan dari tradisi, adat istiadat, kebiasaan di mana agama Hindu itu berkembang. Tradisi, adat istiadat serta budaya  disebut dengan Acara. Acara ini memiliki  kapasitas sebagai  media untuk mensosialisasikan ajaran Veda dengan bahasa lokal, agar sampai ajeg menjadi tradisi atau Adat Hindu yang kuat, serta memiliki sifat yang kenyal  dan elastis. Akibat salah memposisikan adat dan tradisi  ditambah lagi dengan penanganan yang lebih banyak berpegang pada arogansi kekuasaan, dan berbagai intrik, yang semestinya  adalah agama yang diadatkan, tapi yang terjadi adalah adat yang diagamakan. Nilai-nilai luhur agama mengalami reduksi disebabkan oleh peran   Adat menjadi Panglima bagi agama Hindu di Bali.   Wajah Hindu mengalami bias, sehingga kehilangan humanismenya dan menjadi diskriminatif.  Situasi yang demikian ini merupakan lahan yang empuk timbulnya  konflik secara internal, seperti diskriminasi dalam muput yajna, kasepekang, kanoreyang serta masih banyak kasus-kasus adat atas nama agama.  Kemudian belum lagi tudingan dari pihak lain, jangan disalahkan jika agama Hindu dikatagorikan sebagai agama tradisi, buatan manusia,  agama budaya, agama bumi (tabi’i) atau paganisme. Walaupun telah dilakukan resistensi dengan mengutip sumber teks, Hindu mengalir dari Veda, diwahyukan oleh Tuhan melalui para Maharsi merupakan ajaran yang bersifat “SRUTI”, yang artinya “yang didengar”, bukan buatan manusia atau apauruseyam. Namun tetap saja antara pernyataan dan kenyataan sangat jauh berbeda.



II. SIFAT DAN KARAKTER AGAMA HINDU 
         Semangat  ajaran  Veda  meresapi  dan  menjiwai  seluruh  ajaran  Hindu. Ialaksana mata  air  yang   mengalir   terus-menerus   melalui   sungai-sungai   yang panjang   sepanjang   abad.   Karena   masa   dan  luasnya   daerah   yang   dilalui, mengakibatkan wajahnya mengalami perubahan, namun esensi kehinduannya tidak pernah berubah. Oleh karena itu ajaran Veda dalam tataran konsep adalah ajaran yang bersifat absolut/kekal atau Sanatana, sementara dalam tataran praksis atau konteks, yang dapat diamati dan muncul kepermukaan bersifat relatif serta dinamis atau Nutana, sesuai dengan tuntutan zaman. Berdasarkan kedua sifat tersebut umat Hindu diberikan mengapresiasikan kontek ajaran Hindu menyangkut:
1.  Istadevata, yakni suatu kebebasan yang diberikan kepada penganut Hindu untuk memilih bentuk dan nama Tuhan, yang diterangkan oleh kitab suci Veda. Apakah Personal God   (Tuhan Berpribadi) atau Impersonal God (Tuhan yang tidak berpribadi) sebagai obyek  pemujaan, sepanjang dilandasi sraddha dan kemantapan hati nurani atau atmanastusti.
2.     Adhikara, yakni adanya suatu kebebasan untuk memilih  disiplin spiritual yang akan ditempuh serta tata cara sesuai dengan budaya, tradisi, adat istiadat yang berkembang  di masyarakat sepanjang spiritualitasnya mengalir dari Veda.
         Dari  apresiasi  di atas dimungkinkan untuk mengakomudir budaya lokal dan kearifan lokal sehingga memunculkan keanekaragaman bentuk dan cara-cara menerapkan ajaran agama. Hal ini akan tampak pada wujud materialnya, yang berupa budaya agama seperti; tempat suci, sistem pengarcaan, sesajen dengan suplemen ritual lainnya. Adanya kedua sifat dan karakter itu menyebabkan umat Hindu menjadi dinamis dalam rangka mengembangkan kreasi, tradisi sebagai bentuk pelestarian  misi dan visi Veda. Tradisi yang penuh kreasi serta mengakomudasi misi dan visi Veda inilah kemudian dinamakan Acara. 


III KONSEP ACARA AGAMA HINDU
         Pemahaman konsep tentang acara sebagai salah satu bidang untuk memasuki ajaran agama Hindu  sangat penting, mengingat kapasitas dan fungsinya  tidak  saja  sebagai  sumber  hukum  Hindu  tetapi  juga  sebagai  suatu
sistem dan  metode  dalam pengembangan ajaran dan pembinaan umat Hindu dalam rangka memasuki hakikat atau tattva yang bersifat substansi dalam ajaran Hindu melalui tafsir teks /hermeneutik atau tafsir simbol/ semiotik.
         Untuk itu kata Acara dalam Agama Hindu  harus dibedakan dengan kata acara sebagai lazimnya dipakai dalam bahasa Indonesia. Dalam kamus bahasa Sanskerta kata acara  mempunyai arti yang sangat luas, dengan pengertian sebagai berikut;
1.      Perbuatan atau tingkah laku yang baik.
2.      Adat istiadat.
3.  Tradisi atau kebiasaan yang merupakan tingkah laku manusia baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang didasarkan  atas kaidah-kaidah hukum yang ajeg.

         Lebih jauh kitab Sarasamuccaya 177 menyatakan ,”Acara ngaraning prawrtti kawarah ring aji ”, artinya kebiasaan atau tingkah laku yang sesuai dengan ajaran kitab suci. Kata “aji” dalam bahasa Jawa Kuno memiliki banyak arti. Salah satu artinya adalah kitab suci, hukum, mantra. Dalam hal ini yang dimaksud dengan kitab suci adalah kitab suci agama Hindu dan kitab-kitab sastranya atau kitab tafsirnya.
         Dengan demikian Acara adalah tradisi keberagamaan Hindu yang mengacu pada Veda dan susastra Veda, dan secara konsepsual  mencakup;
      1. Aturan (tertulis atau tidak tertulis)
2. Tingkah laku yang di atur (perbuatan perorangan, masyarakat, negara yang selaras dengan ajaran agama).
3. Mempunyai nilai moral dan kepercayaan
4.   Diikuti dan dipatuhi oleh sebagaian besar masyarakat itu.
5.   Ada unsur turun temurun sebagai suatu kebiasaan.
Sebagai suatu kebiasaan, Acara memiliki makna yang sama dengan kata Drsta, secara etimologi berarti pandangan, kemudian memiliki makna konotatif tradisi. Dalam hal ini Acara sama dengan Drsta. Dalam hal ini, Acara  atau  Drsta itu dapat  terdiri  atas  beberapa  macam;  sastra drsta,  desa drsta,  loka drsta,  kuna 
drsta atau purwa drsta dan kula drsta. Adanya berbagai macam drsta seperti tersebut menyebabkan wajah agama Hindu tampak berbeda di masing-masing daerah.


IV. KEDUDUKAN DAN FUNGSI ACARA DALAM HINDU
         Acara  merupakan Dharma Pramana, sebagai salah satu parameter atau salah satu sumber hukum agama  Hindu  untuk  menentukan  kontain atau isi  dari  sebuah kebenaran dari perspektif  ajaran Hindu. Di mana sumber hukum tersebut secara hierarkhis dijabarkan sebagai berikut .
               “Idanim dharma pramananyaka, Vedo khilo dharmamulam,
               smrtisile ca tadvidam acarascaiva sadhunam atmanastutirewaca.”
Terjemahannya.
               Seluruh pustaka suci Veda adalah sumber pertama dari Dharma, kemudian barulah Smerti di samping kebiasaan-kebiasaan yang baik dari orang yang menghayati Veda (sila) dan kemudian tradisi-tradisi dari orang suci (acara) serta rasa puas diri (atmanastusti).

         Tata tertib sumber hukum Hindu seperti diuraikan dalam Manu Smerthi II.6 di atas dalam penerapannya berlaku hukum hierarkhisitas di mana rasa puas  diri atau atmanastuti  tidak boleh bertentangan dengan acara/sadacara atau tradisi yang benar, acara  tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan orang suci atau sila, sila tidak boleh bertentangan dengan smerthi, smerti  haruslah dijiwai oleh Sruti (wahyu).
         Dalam kapasitasnya sebagai sumber hukum, acara tidaklah bersifat statis, melainkan   dinamis.  Hal  ini  terjadi  sebagai  akibat  dari  tuntutan  zaman  yang senantiasa berubah, maka tafsirpun wajib direkontruksi akibatnya tradisipun mengalami perubahan  untuk menterjemahkan tafsir itu. Di sinilah hukum relativitas berlaku dari zaman ke zaman dalam penerapan ajaran Dharma. Dengan demikian alangkah tidak bijaksananya manakala kita mempertahankan semua bentuk tradisi, adat istiadat secara membabi buta. Lebih-lebih sampai menyebabkan  tenggelam  dalam  lautan  tradisi.  Mahatma  Ghandi  mengatakan, bahwa berenang di lautan tradisi adalah suatu kehindahan, namun kalau sampai tenggelam di lautan tradisi itu merupakan ketololan.
         Mengingat fungsi dari  acara itu sebagai pengembangan ajaran  dan lembaga pembinaan umat maka tradisi atau acara haruslah mampu menampilkan ajaran Hindu yang selalu segar, sehak dan menarik, sehingga ajaran Hindu selalu tersaji sebagai suatu hidangan spiritual yang penuh dengan gairah.


V. SUMBER TRADISI
         Berdasarkan kenyataan di lapangan khususnya di Bali bahwa tradisi yang berkembang di masyarakat bagi pandangan kaum awam selalu dikaitkan dengan ajaran agama. Sehingga sering timbul pendapat bahwa antara tradisi yang berkembang di Bali dengan agama tidak bisa dipisahkan. Padahal jika diperhatikan secara seksama tentang tradisi yang berkembang itu dapat dibedakan dari sumbernya.
1.  Tradisi yang bersumber dari ajaran Veda.
2.  Tradisi tidak bersumber dari Veda tapi memperkokoh pelaksanaan agama.
3.   Tradisi yang tumbuh di masyarakat tetapi bertentangan dengan ajaran agama dan norma-norma lainnya.
         Sesuai dengan keputusan Pesamuhan Agung PHDI Pusat th 1971 di Yogyakarta menetapkan bahwa tradisi, adat isitiadat yang mengalir dari Veda harus dibina dan dikembangkan terus sebagai pengamalan agama Hindu. Mengingat tradisi tersebut merupakan Sadacara (sat artinya kebenaran tertinggi dan acara artinya tradisi ) merupakan Sabda Brahman. Maka Sadacara itu  harus dibiasakan sampai melembaga menjadi adat agama. Sedangkan adat istiadat yang tidak bersumber dari Veda namun menunjang dan memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan dan pengamalan agama Hindu serta masih relevan dengan tuntutan zaman, wajib dipelihara dengan baik. Sedangkan adat yang bertentangan dengan ajaran agama dan norma-norma kesucian dan kemanusiaan supaya dihapuskan, lebih-lebih menodai  kesucian  dan  kemuliaan  ajaran  Hindu. Inilah seyogyanya menjadi pegangan bersama dalam menyikapi
hubungan agama dan adat.


VI. PENTRADISIAN AJARAN VEDA
         Manawa Dharmasastra VII. 10 dengan tegas menyatakan, agar  penerapan Dharma sebagai kebenaran  Veda itu sukses (Dharma Sidhyartha) harus diterapkan berdasarkan lima pertimbangan yang meliputi; Iksa, Sakti, Desa Kala dan Tattva.  Iksa artinya paradigma atau kerangka berpikir seseorang, Sakti  artinya kemampuan seseorang atau masyarakat, Desa merupakan keadaan masyarakat setempat dimana nilai-nilai Veda itu diterapkan. Kala adalah waktu atau saat nilai Veda diterapkan. Tattva maksudnya adalah yang paling prinsip dalam menerapkan nila-nilai Veda itu tidak boleh bertentangan dengan kebenaran Veda itu sendiri.
         Dari kelima pertimbangan  tersebut, empat (Iksa, Sakti, Desa, Kala) adalah sesuatu yang larut ke dalam tradisi artinya bersifat nisbi, kena hukum perubahan sementara unsur Tattva  merupakan pertimbangan  yang bersifat substasi serta bersifat mutlak/absolut. Sebagai suatu contoh mari dibahas mengenai Kala atau waktu. Kala itu terus berubah-ubah, semestinya sistem penerapan ajaran Veda juga ikut berubah mengikuti perubahan zaman. Karena tidak dirubah banyak timbul masalah seperti yang terjadi di Bali, seperti kasus sistem Kepanditaan Hindu di Bali, tidak ada kitab suci menyatakan bahwa seorang Pandita harus berdasarkan keturunan orang tertentu saja yang boleh menjadi Pandita Hindu. Tradisi sistem ke-pandita-an yang  diskriminasi  itu  jelas   mengubur  supremasi Agama menjadi di bawah Adat. Termasuk juga sistem Warna menjadi Wangsa, tentu ini bertentangan dengan mahawakya Tat Tvam Asi serta konsep dasar Sivatattva yang egaliter.
         Keberadaan Iksa, Sakti, Desa dan Kala terus berubah-ubah seiring bergulirnya Catur Yuga, yakni; Kreta, Treta, Dvapara dan Kaliyuga. Di Bali sistem penerapan nilai-nilai Veda itu tetap saja tidak mau diubah oleh kelompok status quo atas nama ajeg Bali. Hal inilah menimbulkan banyak masalah. Kelompok ini tidak menyadari justru kesinambungan Hindu terletak pada sifatnya yang adaptif dengan berkembangan zaman. Misalnya dalam kitab Manawa Dharmasatra I. 86 dijelaskan bagaimana penerapan nilai-nilai Veda dimodifikasi sedemikian rupa disesuaikan dengan tuntutan waktu, zaman atau Kala.
         “Tapah param krta yuge,
         tretayam jnanam ucyate,
         dwapare yajnan ewahur,
         danam ekam kalau yuge.” 
 Terjemahannya.
         Pada zaman kreta tapalah yang paling utama,
         Di zaman Treta  pengetahuan yang diutamakan,
         Zaman Dwapara pelaksanaan yajna yang difokuskan,
         Kemudian di zaman Kali sedekah/dana yang utama.

         Saat ini kita berada pada zaman Kali, kekawin Nitisastra menyebutkan bahwa, seseorang akan memiliki prestise jika yang bersangkutan  memiliki uang, “Yang yuganta Kali dateng tan hana mengelewihaning sang mahadana…,” . Rupanya benar pernyataan ini, semua orang saat ini berorientasi pada uang. Agar terjadi kehidupan yang bermartabat, seyogyanya  uang yang diperoleh tersebut wajib disedekahkan atau di-dana-kan dengan tulus ikhlas untuk menolong mereka yang menderita. sesuai pernyataan kitab Smerthi Manawa Dharmasastra di atas. Menekankan danapunia tidak berarti mengabaikan upacara yajna, upacara yajna mutlak diperlukan sepanjang zaman, mengingat upacara yajna merupakan  aspek  lahiriah  yang  memiliki  fungsi  promosi  mengantarkan  umat Hindu menuju pada situasi yang sakral.  Tapi perlu diingat, walaupun upacara itu bersifat mutlak,  jangan  sampai menjadi ajang pamer (asmita), atau mengakibatkan kemiskinan. Pengamalan agama  secara idial di zaman Kali ini bagaimana tapa, jnana, yajna  tetap dilaksanakan untuk mendorong umat melakukan Dana kepada mereka yang membutuhkan sebagai pengejawatahan bhakti kepada Tuhan yang bersemayam pada setiap mahluk (Isvara sarva bhutesu). Kitab Canakya Niti VIII 10 menyatakan dengan tegas:
         “Agni hotram bina veda,
         na ca danam bina kriyah,
         na bhavena bina siddhis
         tasmad bhavo hi karanam.”
Terjemahannya.
         Belajar Veda tanpa korban suci adalah sia-sia. Korban suci  tanpa disertai danapunia tidaklah sempurna. Tanpa disertai rasa bakti semua ini tidak akan berhasil. Oleh karena itu, hal yang paling penting adalah bhakti yaitu penyebab dari segala keberhasilan.

         Makna dari Sloka Manawa Dharmasastra dan Canakya  Niti tersebut di atas memberikan gambaran kepada kita, bahwa pentradisian agama sesuai dengan zamannya saat ini, penonjolannya lebih ditekankan pada pelaksanaan danapunia. Dana berbeda dengan dhana. Dana artinya memberikan sesuatu kepada orang lain yang berguna dengan kepenuh keikhlasan, tidak ada pamrih apa-apa sama sekali. Kata dana sering dipaketkan dengan punia. Punia dalam bahasa Sanskerta artinya melakukan pengabdian sesama ciptaan Tuhan. Sedangkan dhana artinya uang. Lebih jauh kekawin Nitisastra menjelaskan tentang dhana ini adalah sebagai berikut, “Yan  yuganta Kali dateng tan hana mengelewihaning sang mahadhana…,” artinya kalau zaman kali datang tidak ada yang lebih utama dari orang yang beruang/kaya. Jadi menurut kekawin tersebut yang paling diutamakan oleh manusia adalah uang. Karena itu salah satu cara membina tradisi/ acara agama Hindu yang baik sesuai dengan konteks zaman kali adalah dengan memotivasi umat untuk suka ber-danapunia dengan dhana/ uang,  maupun dalam wujud dana lainnya. Cuma setelah uang danapunia itu terkumpul arahkan pada tujuan yang benar. Misalnya mengembangkan pendidikan moral atau Dharmadana   dan Vidyadana serta ketrampilan  umat  atau Gunadana .Lebih-lebih dalam kitab Slokantara 2 dinyatakan bahwa mendidik seorang anak sampai menjadi seorang yang Suputra jauh lebih utama nilainya daripada melakukan 100 kali upacara yajna. Yajna yang paling utama menurut Bhagavadgita adalah ber-japa. Berjapa menurut Sarasamuccaya 369 adalah: mapawaluy – waluyning kojaran sanghyang mantra japa ngarania, artinya mengulang-ulang mengucapkan /merapalkan mantra berjapa namanya.
         Jadi kembali pada Dana yang harus ditonjolkan dalam melakukan ajaran agama Hindu pada zaman kali adalah untuk diarahkan mendidik umat agar menjadi manusia yang Suputra. Salah satu syarat utama menjadi Suputra adalah melakukan yajna. Yajna itu tidak hanya berarti upacara agama dalam wujud Banten saja. Sudah disebutkan di atas bahwa yajna yang paling utama adalah melakukan japa. Namun apa kenyataan yang kita temukan di masyarakat saat ini, jika ada yang melakukan japa, selalu diklaim ke India-Indiaan. Mendapatkan danapunia  dalam  kegiatan  upacara  yajna semestinya dilembagakan sesuai sloka Canakya Niti di atas. Mengumpulkan dhana dengan cara berdanapunia pada setiap upacara keagamaan perlu kiranya dilembagakan melalui pemilihan jenis upacara yang upakaranya / Bantennya yang sederhana atau kecil sehingga sebagian dhana dapat dialokasikan untuk danapunia.


VII. RELATIVITAS  ADAT BUDAYA HINDU
         Tradisi / Acara agama Hindu di Bali memang sangat khas dan unik. Kekhasan dan keunikan lokal Bali itulah oleh F. DK. Bosch disebut “lokal genius” atau keharifan lokal. Meskipun demikian kekhasan dan keunikan sebagai wujud keharifan lokal itu bukanlah sesuatu yang beku tanpa dinamika. Untuk membuktikan bahwa umat Hindu di Bali memiliki keharifan lokal, maka setiap generasi harus  mampu  mengembangkan  dan  memperkaya  keharifan  lokal  itu. Kreativitas yang positif ini adalah sah menurut Hindu sehingga ia menjadi media untuk mengaplikasikan Sanatana Dharma. Aplikasi Sanatana Dharma sesuai konteks zaman merupakan suatu keharusan, hanya dengan cara itu akan memberikan kekuatan kepada umat Hindu meningkatkan keluhuran moral dan kekuatan daya tahan mental umat dalam menghadapi berbagai AGHT kehidupan. AGHT itu adalah Ancaman, Gangguan, Hambatan dan Tantangan hidup. Umat yang memiliki moral yang luhur dan daya tahan mental yang kuat akan dapat mengembangkan profesinya dengan baik untuk meraih hidup yang sejahtera lahir dan batin (Jagadhita dan Moksa). Pada kenyataannya sekarang sudah banyak umat Hindu yang mengeluh karena acara/tradisi, adat agama Hindu itu sudah tidak relevan lagi dan perlu direposisi dan direkontruksi disesuaikan dengan perkembangan zaman.
         Dengan demikian pengembangan tradisi secara terus menerus melalui pembinaan yang sistematis dan demokrasi perlu diupayakan dalam rangka menjawab tantangan zaman yang terus berubah-ubah. Melalui cara ini umat Hindu akan selalu betah pada pelaksanaan agamanya sehingga tidak ada keluhan-keluhan  karena kakunya tradisi/ adat agama Hindu yang diberlakukan. Sudah banyak korban yang  berjatuhan  karena  Kakunya  Adat  Agama  Hindu  (Acara  Agama Hindu) yang diterapkan di Desa Pakraman sebagai wadah pengamalan Acara Agama Hindu. Seperti masih maraknya kasus Adat yang menggunakan Acara Agama Hindu sebagai konflik antar umat seagama. Umumnya umat masih sangat kurang paham Tattva Agama Hindu yang menjadi landasan dari suatu Acara Agama Hindu yang diberlakukan itu. Akibatnya ekspresi keagamaan sebagai wujud Acara Agama Hindu sering  bentertangan dengan landasan Tattvanya.  Di lain sisi ada pihak-pihak tertentu yang mengetahui bahwa telah terjadi pembiasan dari pengamalan Acara Agama Hindu, namun dengan sengaja membiarkannya dengan suatu tujuan tertentu, seperti keuntungan sosial dan ekonomi.  Maka kebutuhan  yang  mendasar  untuk  keluar dari masalah ini adalah memberikan pemahaman yang benar kepada umat Hindu di Bali, tentang kapasitas Acara Agama Hindu sehingga tidak mudah terprokasi untuk lahan eksploitasi dari kelompok tertentu. Namun yang jelas bahwa waktulah yang mengatur semuanya .


VIII. PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN ACARA AGAMA HINDU
         Demi ajegnya ajaran yang bersifat Sanatana/ mutlak yang merupakan intisari dari ajaran Veda kemudian  dapat dijadikan pegangan dan penuntun dalam meniti kehidupan di dunia ini maka ia harus diaplikasikan dengan konsep Nutana/ relatif. Artinya aplikasi dari Sanatana   itu harus disesuaikan terus dengan dinamika sosial umat Hindu. Karena hakekat hidup adalah perubahan atau tranformasi individu maupun sosial. Beragama tidak hanya sebatas informasi melainkan tranformasi. Maksudnya keberagamaan itu tidak sekedar untuk dapat menghapal isi kitab suci. Informasi yang diserap dari kitab suci harus menghasilkan tranformasi diri dan sosial menuju arah yang semakin baik. Tanpa adanya transformasi diri dan sosial dalam kehidupan beragama maka beragama itu akan menjadi beban hidup yang memberatkan masyarakat, baik disadari maupun tidak.
         Sebagi perbandingan dapat disimak pandangan DR. Rajiman Wediodingrat, bahwa untuk menjaga dinamika perubahan budaya/cultural inovatif   agar selalu bergerak menuju perubahan yang positif maka harus diterapkan konsep TRIKON, yakni: Kontinuitas, Konsentrisitas, Kovergensi. Dari proses TRIKON  itulah muncul inovasi budaya menuju inovasi yang semakin positif mengantarkan masyarakat semakin sejahtera lahir batin. Inovasi atau perubahan budaya tanpa menimbulkan kesejahteraan lahir batin maka perubahan itu adalah perubahan yang penuh dosa.
         Yang dimaksud dengan Kontinuitas adalah bahwa dalam prubahan itu yang harus dipertahankan adalah nilai-nilai universal yang mampu diwujudkan dalam proses hidup berbudaya. Atau  dengan  kata  lain  nilai-nilai  budaya  yang  masih relevan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat hendaknya terus dilanjutkan untuk dipertahankan. Kemudian Konsentrisitas, adalah suatu upaya untuk memilah-milah hasil-hasil budaya yang berlangsung. Dari hasil pemilahan tersebut dilanjutkan dengan proses memilih, nilai mana yang harus dipertahankan demikian juga nilai-nilai mana yang harus dikembangkan untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan hidup masyarakat. Adapun aspek budaya yang sudah usang wajib ditinggalkan. Namun dalam mengelemenasi nilai yang sudah usang tersebut membutuhkan suatu metode tersendiri agar jangan sampai menimbulkan gejolak sosial. Merubah aspek-aspek budaya yang sudah tidak sesuai itu harus ditempuh dengan cara-cara persuasif edukatif  melalui proses demokrasi tanpa pemaksaan oleh siapapun. Yang terakhir  Konvergensi adalah memadukan secara holistik dan sinergi nilai-nilai yang sudah ada atau dimiliki dengan nilai-nilai baru yang sesuai dan cocok dengan nilai-nilai yang sudah ada. Dari perpaduan nilai-nilai itu akan lahir inovasi budaya. Dengan teori ini inovasi atau perubahan budaya itu tidak menimbulkan stagnasi budaya antara budaya lama dengan budaya hasil perubahan. Jika menimbulkan stagnasi tentu gejolak sosial tidak dapat dihindari. Oleh sebab itu dibutuhkan sikap kehati-hatian serta kepandaian dalam mengelola masyarakat.
         Dalam membina Acara Hindu teori TRIKON  ini dapat dijadikan sumber inspirasi  sehingga proses kehidupan Acara Hindu tidak ketinggalan zaman dalam mengatisipasi perubahan zaman. Karena itu   pengkajian-pengkajian Acara Hindu di Bali harus terus dilakukan. Dari hasil pengkajian-pengkajian tersebut kita  akan  dapat menemukan mana Acara Hindu yang mengandung  nilai universal dan mana yang sudah ketinggalan zaman. Demikian juga dalam era kesejagatan/globalisasi tentunya tidak mungkin umat Hindu di Bali mengisolasi diri serta membendung masuknya budaya asing ke Bali. Melalui pengkajian yang mendalam akan ditemukan mana budaya asing yang dapat diserap oleh Acara Hindu  dan mana yang tidak mungkin diserap. Oleh karena itu dalam meng-up to date Acara / tradisi   keberagaan   Hindu  di  Bali  ada  tiga  langkah  yang  wajib dilaksanakan yakni resestention  (pertahanan), modification ( pengembangan) dan enrichment  (pengayaan).  Ini artinya ada tradisi  keberagamaan atau acara yang masih dapat dipertahankan, karena masih dapat berfungsi untuk menjadi media menanamkan Tattva dan Susila Hindu kepada umat Hindu. Tradisi ini terus dipertahankan sepanjang masih berfungsi. Kemudian ada tradisi yang masih baik tapi mengandung anasir-anasir yang tidak relevan lagi. Terhadap tradisi yang demikian ini perlu diadakan modifikasi, rekontruksi atau pengembangan sehingga menjadi media yang efektif dalam pengembangan Tattva dan Susila Hindu. Ibarat mobil tua mesinnya masih bagus tapi bodinya telah keropos. Maka mobil itu harus diperbaharui bodinya. Selain itu ada tradisi asing yang cocok disandingkan  maupun dipadukan dengan dengan tradisi Hindu yang sudah ada. Maka penerimaan budaya asing itu dterima sebagai memperkaya tradisi keberagamaan yang telah ada. Bukankah  secara historik keunikan Bali terletak pada pengayaan ini. Sebagai contoh bagaimana uang kepeng yang semula sebagai alat tukar di negeri asalnya kemudian menjadi sarana ritual keagamaan Hindu di Bali. Kemudian diberikan filosofis sehingga menjadi benda sakral yang bersifat subsansi, bahkan  saat ini karena langkanya uang kepeng tersebut dibuatkan imitasinya. Demikian pula tentang Barong Ketet, kalau kita jujur berasal dari Barong Sai Cina, masuk ke Bali lantas dimodifiasi, diadopsi menjadi khasanah lokal Bali. Begitu pula dengan lampion kematian Cina menjadi Damarkurung dalam upacara kematian di Bali, bangunan Meru di Bali berasal dari Nepal. Lebih jauh kita mengenal patracina, patramesir serta patra welanda masih banyak yang lainnya.  Dengan  melihat  kenyataan  dan  fakta  sejujurnya  tradisi keragamaan di  Bali secara material untuk mengkemas Tattva dan Susila Hindu banyak sekali dikontribusi oleh tradisi asing. Bertitik tolak dari hal di atas masihkah kita menjadi alergi ataupun antipati terhadap perubahan serta budaya asing, lebih-lebih yang berasal dari budaya Veda di India, seperti berkembangnya kidung-kidung versi Sansekerta (bhajan), kenyataannya masih banyak yang mencela. Itu dilakukan demi Ajeg Bali. Dan anehnya lagi yang mencela itu tidak tahu kidung lokal Wargasari apalagi  konsep tentang Ajeg Bali. 


IX. ACARA HINDU DAN TRI KONA
         Tri Kona dalam berbagai susatra Hindu di Bali seperti Bhuana Mabah, Bhuana Kosa, Wrhaspati Tattva merupakan sifat Kemaha Kuasaan Tuhan yang terdiri atas; Utpati (mencipta), Sthiti (memelihara), Pralina (mendaurulang).  Semua ciptaan Tuhan tidak ada yang luput dari hukum Tri Kona tersebut. Demikian juga mengenai tradisi keberagamaan/ Acara Hindu di Bali yang merupakan  produk manusia untuk mengkemas nilai-nilai Veda yang Sanatana juga kena hukum ini. Perubahan tidak dapat dihindari itu artinya Acara itu bersifat Nutana / relatif atau harus disesuaikan terus-menerus sesuai perkembangan zaman. Mempertahankan yang relatif berarti bunuh diri.
         Dalam rangka pembinaan tradisi keberagamaan/ Acara Hindu konsep Tri Kona ini wajib dikontekskan. Utpati  artinya ciptakanlah tradisi keberagamaan/ Acara Hindu yang baru sesuai kebutuhan umat. Tentu menciptakan yang baru ini dengan cara-cara yang elegan dan demokrasi serta tetap berpegang pada koridor Tattva dan Susila Hindu dengan menempatkan supremasi nilai Weda di atas tradisi baru yang diciptakan. Utpati ini dilakukan atas dasar aspirasi yang sudah demikian berkembang dalam masyarakat. Misalnya dalam melakukan kegiatan Upacara Yajna. Sudah banyak aspirasi umat dari bawah untuk merubah cara melakukan Upacara  Yajna. Tujuan yang dikehendaki adalah essensi yajna tetap ditegakkan namun umat dapat mengikuti perubahan berbagai sistem kehidupan yang maju pesat. Mengingat situasi masyarakat dalam menempuh kehidupan sudah  mengalami  pergeseran  dari  sistem  agraris  menuju  sistem  industri  jasa. Karena itu perlu diciptakan (utpati) tradisi keberagamaan / Acara Hindu yang dapat mengantisipasi mengakomudasi sistem kehidupan masyarakat industri jasa tersebut.
         Kemudian Sthiti artinya memelihara dan mempertahankan aspek tradisi keagamaan/ Acara   Hindu yang masih relevan. Sebagai contoh misalnya tradisi medanapunia, pesantian, tirtha yatra dan masih banyak yang lainnya. Dalam mempertahankan  tradisi  keagamaan  tersebut  perlu  kiranya  dipadukan  dengan ilmu modern seperti tradisi medanapunia , perlu dibuatkan management yang rapi baik menyangkut penerimaannya maupun dalam hal penggunaannya. Demikian juga tirthayatra perlu dipertahankan, kemudian dibuatkan program yang matang sehingga tradisi itu dapat berjalan dengan baik. Tirthayatra  tidak saja berarti perjalanan suci untuk Pura yang jauh-jauh saja sampai ke luar negeri, melainkan dapat dilakukan dalam wilayah desa, kecamatan, kabupaten, propinsi. Demikian juga tradisi Pesantian. Tradisi ini perlu dilembagakan dengan sistem organisasi modern sehingga pesantian itu mencapai sasaran sesuai dengan tujuannya yang benar. Wacana Mahatma Gandhi perlu kiranya direnungkan kembali, yang menyatakan,”  Berenang di lautan tradisi adalah suatu kehindahan, namun kalau sampai tenggelam di lautan tradisi itu merupakan ketololan.” Ini memiliki makna, bahwa di dalam mempertahankan tradisi yang baik janganlah berpaku pada tradisi  yang kita selami, lihat pula hal-hal di luar yang kita selami sebagai perbandingan. Seperti berenang, tidak serta merta selalu berada di dalam air, sekali-sekali kita mendongakkan kepala ke atas air untuk melihat di sekeliling kita. Dengan demikian kita akan melihat kelebihan dan kekurangan apa yang kita miliki. Perbandingan yang demikian sangat penting karena dapat meredam sikap supperior, eksklusif  karena merasa diri lebih dari yang lain. Ataupun sikap imperior terhadap tradisi yang lain.
         Yang terakhir adalah Pralina artinya mengelemenir aspek-aspek tradisi keagamaan Hindu yang memang sudah usang tidak sesuai dengan konsep dan konteks Tattva nya dan juga tidak patut dilanjutkan karena akan menyebabkan kita   tidak  mampu  mengantisipasi  perkembangan  zaman  yang  semakin  pesat. Proses Pralina  tradisi keagamaan Hindu yang sudah ketinggalan zaman atau uzur  dan secara nyata bertentangan dengan Tattva agama Hindu harus dilakukan segera. Jika tidak tradisi itu justru akan menodai kesucian agama. Hukum Pralina ini akan berlaku dalam berbagai dimensi kehidupan termasuk produk dari kehidupan itu. Acara sebagai tradisi buatan manusia juga kena hukum ini.  Jika  tidak  sangat  berbahaya  sekali  apalagi  nyata-nyata  tradisi  itu justru melecehkan nilai-nilai luhur Hindu. Misalnya tradisi Upacara Yajna yang berlatar belakang wangsa, seperti perkawinan antar wangsa, yang disebut Nyerod, sehingga mempelai wanita dikenakan upacara Patiwangi. Dalam kasus menjadi Rabi,   mempelai wanita diupacarai /natab dengan keris dan sesaka, kemudian mempelai pria tidak mau sembahyang di tempat mempelai wanita karena merasa lebih tinggi. Padahal membedakan tinggi rendah umat berdasarkan kewangsaan tidak dikenal dalam ajaran agama Hindu yang bersumber dari Veda. Termasuk kasus nyiratin tirtha kepada wangsa tertentu  oleh Pemangku yang dipandang Jaba. Adanya kasus  di atas ini tidak lebih dari Ekspressi Arogansi Wangsa.  Tradisi sesat ini masih sulit untuk dipralina, sebabnya umat masih bodoh sehingga berada pada posisi sulit dan terjepit. Selain itu elit umat Hindu yang duduk dilembaga birokrasi dan lembaga umat didominasi oleh mereka yang merasa Wangsanya lebih tinggi akibatnya terjadilah perselingkuhan antara elit birokrasi, politik sebagai penentu kebijakan dengan elit agama. Jika demikian adanya terjadilah agama menurut selera Sang Penguasa. Jika ada gerakan, kita sebut saja kelompok reformis yang ingin memposisikan supremasi  nilai-nilai Veda di atas tradisi semacam di atas, kelompok status quo akan kebakaran jenggot. Kelompok status quo menuding kelompok reformis sebagai gerakan menghancurkan Bali. Memang kalau kita kembali pada Veda, kelompok status quo akan rugi karena mereka hidup serta memperoleh keuntungan secara sosial politik dan material dari tradisi yang sesat itu.  Padahal dengan tegas dinyatakan dalam kitab suci, bahwa kualitas seseorang tidak ditentukan oleh kelahiran dari mana ia berasal. Veda membedakan martabat manusia atas dasar prilaku/karmanya. Justru bagi mereka yang angkuh (darpo),  membanggakan diri (abhimanas), kurang ajar (parusya)  mengagungkan  Wangsanya (abhijanavan ) menurut Bhagavadgita XVI. 4, 15 tergolong ke dalam sifat Asura atau Raksasa. Dalam kekawin Nitisastra disebut Kula Kulina yang artinya merasa berwangsa tinggi. Persepsi yang demikian sesungguhnya merupakan salah satu dari tujuh kegelapan   yang   disebut   Saptatimira.  Mralina  tradisi  yang  sesat  itu  adalah perjuangan mulia, namun tinggi resikonya dan itulah yajna bagi suatu perjuangan.       


X. PENUTUP /SIMPULAN
         Demikian yang dimaksud dengan tradisi keagamaan/acara dalam agama Hindu dengan berbagai perspektifnya. Sehingga tidak ada lagi anggapan bahwa adat dan budaya di Bali tidak bisa dipisahkan dengan agama Hindu. Adat dan tradisi keagamaan senantiasa berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman yang bersifat Nutana sementara nilai-nilai agama Hindu bersifat ajeg dan kekal atau Sanatana. Oleh sebab itu tradisi keagamaan patut dipertahankan jika masih relavan atau diperbaharui jika telah mengalami bias bahkan patut dimusnahkan jika merongrong kesucian dari nilai-nilai Hindu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar