TRADISI
DALAM AGAMA HINDU *)
Oleh: Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda |
I. PENDAHULUAN
Pelembagaan
ajaran agama Hindu tidak dapat dipisakan dari tradisi, adat istiadat, kebiasaan
di mana agama Hindu itu berkembang. Tradisi, adat istiadat serta budaya disebut dengan Acara. Acara ini memiliki kapasitas sebagai media untuk mensosialisasikan ajaran Veda
dengan bahasa lokal, agar sampai ajeg menjadi tradisi atau Adat Hindu yang
kuat, serta memiliki sifat yang kenyal
dan elastis. Akibat salah memposisikan adat dan tradisi ditambah lagi dengan penanganan yang lebih
banyak berpegang pada arogansi kekuasaan, dan berbagai intrik, yang
semestinya adalah agama yang diadatkan,
tapi yang terjadi adalah adat yang diagamakan. Nilai-nilai luhur agama
mengalami reduksi disebabkan oleh peran
Adat menjadi Panglima bagi agama Hindu di Bali. Wajah Hindu mengalami bias, sehingga
kehilangan humanismenya dan menjadi diskriminatif. Situasi yang demikian ini merupakan lahan
yang empuk timbulnya konflik secara
internal, seperti diskriminasi dalam muput yajna, kasepekang, kanoreyang serta
masih banyak kasus-kasus adat atas nama agama.
Kemudian belum lagi tudingan dari pihak lain, jangan disalahkan jika
agama Hindu dikatagorikan sebagai agama tradisi, buatan manusia, agama budaya, agama bumi (tabi’i) atau
paganisme. Walaupun telah dilakukan resistensi dengan mengutip sumber teks,
Hindu mengalir dari Veda, diwahyukan oleh Tuhan melalui para Maharsi merupakan
ajaran yang bersifat “SRUTI”, yang artinya “yang didengar”, bukan buatan
manusia atau apauruseyam. Namun tetap saja antara pernyataan dan kenyataan
sangat jauh berbeda.
II. SIFAT DAN KARAKTER
AGAMA HINDU
Semangat ajaran
Veda meresapi dan
menjiwai seluruh ajaran
Hindu. Ialaksana mata air
yang mengalir terus-menerus melalui
sungai-sungai yang panjang sepanjang
abad. Karena masa
dan luasnya daerah
yang dilalui, mengakibatkan
wajahnya mengalami perubahan, namun esensi kehinduannya tidak pernah berubah.
Oleh karena itu ajaran Veda dalam tataran konsep adalah ajaran yang bersifat
absolut/kekal atau Sanatana, sementara dalam tataran praksis atau konteks, yang
dapat diamati dan muncul kepermukaan bersifat relatif serta dinamis atau
Nutana, sesuai dengan tuntutan zaman. Berdasarkan kedua sifat tersebut umat
Hindu diberikan mengapresiasikan kontek ajaran Hindu menyangkut:
1. Istadevata, yakni suatu kebebasan yang diberikan kepada penganut
Hindu untuk memilih bentuk dan nama Tuhan, yang diterangkan oleh kitab suci
Veda. Apakah Personal God (Tuhan
Berpribadi) atau Impersonal God (Tuhan yang tidak berpribadi) sebagai
obyek pemujaan, sepanjang dilandasi
sraddha dan kemantapan hati nurani atau atmanastusti.
2. Adhikara, yakni adanya suatu kebebasan untuk memilih disiplin spiritual yang akan ditempuh serta
tata cara sesuai dengan budaya, tradisi, adat istiadat yang berkembang di masyarakat sepanjang spiritualitasnya
mengalir dari Veda.
Dari apresiasi
di atas dimungkinkan untuk mengakomudir budaya lokal dan kearifan lokal
sehingga memunculkan keanekaragaman bentuk dan cara-cara menerapkan ajaran
agama. Hal ini akan tampak pada wujud materialnya, yang berupa budaya agama
seperti; tempat suci, sistem pengarcaan, sesajen dengan suplemen ritual
lainnya. Adanya kedua sifat dan karakter itu menyebabkan umat Hindu menjadi
dinamis dalam rangka mengembangkan kreasi, tradisi sebagai bentuk
pelestarian misi dan visi Veda. Tradisi
yang penuh kreasi serta mengakomudasi misi dan visi Veda inilah kemudian
dinamakan Acara.
III KONSEP ACARA AGAMA HINDU
Pemahaman
konsep tentang acara sebagai salah satu bidang untuk memasuki ajaran agama
Hindu sangat penting, mengingat
kapasitas dan fungsinya tidak saja
sebagai sumber hukum
Hindu tetapi juga
sebagai suatu
sistem dan metode
dalam pengembangan ajaran dan pembinaan umat Hindu dalam rangka memasuki
hakikat atau tattva yang bersifat substansi dalam ajaran Hindu melalui tafsir
teks /hermeneutik atau tafsir simbol/ semiotik.
Untuk
itu kata Acara dalam Agama Hindu harus
dibedakan dengan kata acara sebagai lazimnya dipakai dalam bahasa Indonesia .
Dalam kamus bahasa Sanskerta kata acara
mempunyai arti yang sangat luas, dengan pengertian sebagai berikut;
1.
Perbuatan atau tingkah laku
yang baik.
2.
Adat istiadat.
3. Tradisi atau kebiasaan yang
merupakan tingkah laku manusia baik perseorangan maupun kelompok masyarakat
yang didasarkan atas kaidah-kaidah hukum
yang ajeg.
Lebih
jauh kitab Sarasamuccaya 177 menyatakan ,”Acara ngaraning prawrtti kawarah ring
aji ”, artinya kebiasaan atau tingkah laku yang sesuai dengan ajaran kitab
suci. Kata “aji” dalam bahasa Jawa Kuno memiliki banyak arti. Salah satu
artinya adalah kitab suci, hukum, mantra. Dalam hal ini yang dimaksud dengan
kitab suci adalah kitab suci agama Hindu dan kitab-kitab sastranya atau kitab
tafsirnya.
Dengan
demikian Acara adalah tradisi keberagamaan Hindu yang mengacu pada Veda dan
susastra Veda, dan secara konsepsual
mencakup;
1. Aturan (tertulis atau tidak tertulis)
2. Tingkah laku yang di
atur (perbuatan perorangan, masyarakat, negara yang selaras dengan ajaran
agama).
3. Mempunyai nilai moral
dan kepercayaan
4. Diikuti dan dipatuhi oleh
sebagaian besar masyarakat itu.
5. Ada unsur turun
temurun sebagai suatu kebiasaan.
Sebagai suatu kebiasaan, Acara
memiliki makna yang sama dengan kata Drsta, secara etimologi berarti pandangan,
kemudian memiliki makna konotatif tradisi. Dalam hal ini Acara sama dengan
Drsta. Dalam hal ini, Acara atau Drsta itu dapat terdiri
atas beberapa macam;
sastra drsta, desa drsta, loka drsta,
kuna
drsta atau purwa drsta dan kula
drsta. Adanya berbagai macam drsta seperti tersebut menyebabkan wajah agama
Hindu tampak berbeda di masing-masing daerah.
IV. KEDUDUKAN DAN FUNGSI ACARA DALAM
HINDU
Acara merupakan Dharma Pramana, sebagai salah satu
parameter atau salah satu sumber hukum agama
Hindu untuk menentukan
kontain atau isi dari sebuah kebenaran dari perspektif ajaran Hindu. Di mana sumber hukum tersebut
secara hierarkhis dijabarkan sebagai berikut .
“Idanim
dharma pramananyaka, Vedo khilo dharmamulam,
smrtisile
ca tadvidam acarascaiva sadhunam atmanastutirewaca.”
Terjemahannya.
Seluruh
pustaka suci Veda adalah sumber pertama dari Dharma, kemudian barulah Smerti di
samping kebiasaan-kebiasaan yang baik dari orang yang menghayati Veda (sila)
dan kemudian tradisi-tradisi dari orang suci (acara) serta rasa puas diri
(atmanastusti).
Tata
tertib sumber hukum Hindu seperti diuraikan dalam Manu Smerthi II.6 di atas
dalam penerapannya berlaku hukum hierarkhisitas di mana rasa puas diri atau atmanastuti tidak boleh bertentangan dengan
acara/sadacara atau tradisi yang benar, acara
tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan orang suci atau
sila, sila tidak boleh bertentangan dengan smerthi, smerti haruslah dijiwai oleh Sruti (wahyu).
Dalam
kapasitasnya sebagai sumber hukum, acara tidaklah bersifat statis,
melainkan dinamis. Hal
ini terjadi sebagai
akibat dari tuntutan
zaman yang senantiasa berubah, maka
tafsirpun wajib direkontruksi akibatnya tradisipun mengalami perubahan untuk menterjemahkan tafsir itu. Di sinilah
hukum relativitas berlaku dari zaman ke zaman dalam penerapan ajaran Dharma.
Dengan demikian alangkah tidak bijaksananya manakala kita mempertahankan semua
bentuk tradisi, adat istiadat secara membabi buta. Lebih-lebih sampai menyebabkan tenggelam
dalam lautan tradisi.
Mahatma Ghandi mengatakan, bahwa berenang di lautan tradisi
adalah suatu kehindahan, namun kalau sampai tenggelam di lautan tradisi itu
merupakan ketololan.
Mengingat
fungsi dari acara itu sebagai pengembangan
ajaran dan lembaga pembinaan umat maka
tradisi atau acara haruslah mampu menampilkan ajaran Hindu yang selalu segar,
sehak dan menarik, sehingga ajaran Hindu selalu tersaji sebagai suatu hidangan
spiritual yang penuh dengan gairah.
V. SUMBER TRADISI
Berdasarkan
kenyataan di lapangan khususnya di Bali bahwa
tradisi yang berkembang di masyarakat bagi pandangan kaum awam selalu dikaitkan
dengan ajaran agama. Sehingga sering timbul pendapat bahwa antara tradisi yang
berkembang di Bali dengan agama tidak bisa
dipisahkan. Padahal jika diperhatikan secara seksama tentang tradisi yang
berkembang itu dapat dibedakan dari sumbernya.
1. Tradisi yang bersumber dari
ajaran Veda.
2. Tradisi tidak bersumber dari
Veda tapi memperkokoh pelaksanaan agama.
3. Tradisi yang tumbuh di
masyarakat tetapi bertentangan dengan ajaran agama dan norma-norma lainnya.
Sesuai
dengan keputusan Pesamuhan Agung PHDI Pusat th 1971 di Yogyakarta menetapkan
bahwa tradisi, adat isitiadat yang mengalir dari Veda harus dibina dan
dikembangkan terus sebagai pengamalan agama Hindu. Mengingat tradisi tersebut
merupakan Sadacara (sat artinya kebenaran tertinggi dan acara artinya tradisi )
merupakan Sabda Brahman. Maka Sadacara itu
harus dibiasakan sampai melembaga menjadi
adat agama. Sedangkan adat istiadat yang tidak bersumber dari Veda namun
menunjang dan memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan dan
pengamalan agama Hindu serta masih relevan dengan tuntutan zaman, wajib
dipelihara dengan baik. Sedangkan adat yang bertentangan dengan ajaran agama
dan norma-norma kesucian dan kemanusiaan supaya dihapuskan, lebih-lebih
menodai kesucian dan
kemuliaan ajaran Hindu. Inilah seyogyanya menjadi pegangan
bersama dalam menyikapi
hubungan agama dan adat.
VI. PENTRADISIAN AJARAN VEDA
Manawa
Dharmasastra VII. 10 dengan tegas menyatakan, agar penerapan Dharma sebagai kebenaran Veda itu sukses (Dharma Sidhyartha) harus
diterapkan berdasarkan lima pertimbangan yang meliputi; Iksa, Sakti, Desa Kala
dan Tattva. Iksa artinya paradigma atau
kerangka berpikir seseorang, Sakti
artinya kemampuan seseorang atau masyarakat, Desa merupakan keadaan
masyarakat setempat dimana nilai-nilai Veda itu diterapkan. Kala adalah waktu
atau saat nilai Veda diterapkan. Tattva maksudnya adalah yang paling prinsip
dalam menerapkan nila-nilai Veda itu tidak boleh bertentangan dengan kebenaran
Veda itu sendiri.
Dari
kelima pertimbangan tersebut, empat
(Iksa, Sakti, Desa, Kala) adalah sesuatu yang larut ke dalam tradisi artinya
bersifat nisbi, kena hukum perubahan sementara unsur Tattva merupakan pertimbangan yang bersifat substasi serta bersifat
mutlak/absolut. Sebagai suatu contoh mari dibahas mengenai Kala atau waktu.
Kala itu terus berubah-ubah, semestinya sistem penerapan ajaran Veda juga ikut
berubah mengikuti perubahan zaman. Karena tidak dirubah banyak timbul masalah
seperti yang terjadi di Bali, seperti kasus sistem Kepanditaan Hindu di Bali,
tidak ada kitab suci menyatakan bahwa seorang Pandita harus berdasarkan
keturunan orang tertentu saja yang boleh menjadi Pandita Hindu. Tradisi sistem
ke-pandita-an yang diskriminasi itu
jelas mengubur supremasi Agama menjadi di bawah Adat. Termasuk
juga sistem Warna menjadi Wangsa, tentu ini bertentangan dengan mahawakya Tat
Tvam Asi serta konsep dasar Sivatattva yang egaliter.
Keberadaan
Iksa, Sakti, Desa dan Kala terus berubah-ubah seiring bergulirnya Catur Yuga,
yakni; Kreta, Treta, Dvapara dan Kaliyuga. Di Bali sistem penerapan nilai-nilai
Veda itu tetap saja tidak mau diubah oleh kelompok status quo atas nama ajeg Bali . Hal inilah menimbulkan banyak masalah. Kelompok ini
tidak menyadari justru kesinambungan Hindu terletak pada sifatnya yang adaptif
dengan berkembangan zaman. Misalnya dalam kitab Manawa Dharmasatra
I. 86 dijelaskan bagaimana penerapan
nilai-nilai Veda dimodifikasi sedemikian rupa disesuaikan dengan tuntutan
waktu, zaman atau Kala.
“Tapah
param krta yuge,
tretayam
jnanam ucyate,
dwapare
yajnan ewahur,
danam
ekam kalau yuge.”
Pada
zaman kreta tapalah yang paling utama,
Di zaman
Treta pengetahuan yang diutamakan,
Zaman
Dwapara pelaksanaan yajna yang difokuskan,
Kemudian
di zaman Kali sedekah/dana yang utama.
Saat
ini kita berada pada zaman Kali, kekawin Nitisastra menyebutkan bahwa,
seseorang akan memiliki prestise jika yang bersangkutan memiliki uang, “Yang yuganta Kali dateng tan
hana mengelewihaning sang mahadana…,” . Rupanya benar pernyataan ini, semua
orang saat ini berorientasi pada uang. Agar terjadi kehidupan yang bermartabat,
seyogyanya uang yang diperoleh tersebut
wajib disedekahkan atau di-dana-kan dengan tulus ikhlas untuk menolong mereka
yang menderita. sesuai pernyataan kitab Smerthi Manawa Dharmasastra di atas.
Menekankan danapunia tidak berarti mengabaikan upacara yajna, upacara yajna
mutlak diperlukan sepanjang zaman, mengingat upacara yajna merupakan aspek
lahiriah yang memiliki
fungsi promosi mengantarkan
umat Hindu menuju pada situasi yang
sakral. Tapi perlu diingat, walaupun
upacara itu bersifat mutlak, jangan sampai menjadi ajang pamer (asmita), atau
mengakibatkan kemiskinan. Pengamalan agama
secara idial di zaman Kali ini bagaimana tapa, jnana, yajna tetap dilaksanakan untuk mendorong umat
melakukan Dana kepada mereka yang membutuhkan sebagai pengejawatahan bhakti
kepada Tuhan yang bersemayam pada setiap mahluk (Isvara sarva bhutesu). Kitab
Canakya Niti VIII 10 menyatakan dengan tegas:
“Agni
hotram bina veda,
na ca
danam bina kriyah,
na
bhavena bina siddhis
tasmad
bhavo hi karanam.”
Terjemahannya.
Belajar
Veda tanpa korban suci adalah sia-sia. Korban suci tanpa disertai danapunia tidaklah sempurna.
Tanpa disertai rasa bakti semua ini tidak akan berhasil. Oleh karena itu, hal
yang paling penting adalah bhakti yaitu penyebab dari segala keberhasilan.
Makna
dari Sloka Manawa Dharmasastra dan Canakya
Niti tersebut di atas memberikan gambaran kepada kita, bahwa
pentradisian agama sesuai dengan zamannya saat ini, penonjolannya lebih
ditekankan pada pelaksanaan danapunia. Dana berbeda dengan dhana. Dana artinya
memberikan sesuatu kepada orang lain yang berguna dengan kepenuh keikhlasan,
tidak ada pamrih apa-apa sama sekali. Kata dana sering dipaketkan dengan punia.
Punia dalam bahasa Sanskerta artinya melakukan pengabdian sesama ciptaan Tuhan.
Sedangkan dhana artinya uang. Lebih jauh kekawin Nitisastra menjelaskan tentang
dhana ini adalah sebagai berikut, “Yan
yuganta Kali dateng tan hana mengelewihaning sang mahadhana…,” artinya
kalau zaman kali datang tidak ada yang lebih utama dari orang yang beruang/kaya.
Jadi menurut kekawin tersebut yang paling diutamakan oleh manusia adalah uang.
Karena itu salah satu cara membina tradisi/ acara agama Hindu yang baik sesuai
dengan konteks zaman kali adalah dengan memotivasi umat untuk suka
ber-danapunia dengan dhana/ uang, maupun
dalam wujud dana lainnya. Cuma setelah uang
danapunia itu terkumpul arahkan pada tujuan yang benar. Misalnya mengembangkan
pendidikan moral atau Dharmadana dan
Vidyadana serta ketrampilan umat atau Gunadana .Lebih-lebih dalam kitab
Slokantara 2 dinyatakan bahwa mendidik seorang anak sampai menjadi seorang yang
Suputra jauh lebih utama nilainya daripada melakukan 100 kali upacara yajna.
Yajna yang paling utama menurut Bhagavadgita adalah ber-japa. Berjapa menurut
Sarasamuccaya 369 adalah: mapawaluy – waluyning kojaran sanghyang mantra japa
ngarania, artinya mengulang-ulang mengucapkan /merapalkan mantra berjapa
namanya.
Jadi
kembali pada Dana yang harus ditonjolkan dalam melakukan ajaran agama Hindu
pada zaman kali adalah untuk diarahkan mendidik umat agar menjadi manusia yang
Suputra. Salah satu syarat utama menjadi Suputra adalah melakukan yajna. Yajna
itu tidak hanya berarti upacara agama dalam wujud Banten saja. Sudah disebutkan
di atas bahwa yajna yang paling utama adalah melakukan japa. Namun apa
kenyataan yang kita temukan di masyarakat saat ini, jika ada yang melakukan
japa, selalu diklaim ke India-Indiaan. Mendapatkan danapunia dalam
kegiatan upacara yajna semestinya dilembagakan sesuai sloka
Canakya Niti di atas. Mengumpulkan dhana dengan cara berdanapunia pada setiap
upacara keagamaan perlu kiranya dilembagakan melalui pemilihan jenis upacara
yang upakaranya / Bantennya yang sederhana atau kecil sehingga sebagian dhana
dapat dialokasikan untuk danapunia.
VII. RELATIVITAS ADAT BUDAYA HINDU
Tradisi
/ Acara agama Hindu di Bali memang sangat khas dan unik. Kekhasan dan keunikan
lokal Bali itulah oleh F. DK. Bosch disebut
“lokal genius” atau keharifan lokal. Meskipun demikian kekhasan dan keunikan
sebagai wujud keharifan lokal itu bukanlah sesuatu yang beku tanpa dinamika.
Untuk membuktikan bahwa umat Hindu di Bali memiliki keharifan lokal, maka
setiap generasi harus mampu mengembangkan
dan memperkaya keharifan
lokal itu. Kreativitas yang positif ini adalah sah
menurut Hindu sehingga ia menjadi media untuk mengaplikasikan Sanatana Dharma.
Aplikasi Sanatana Dharma sesuai konteks zaman merupakan suatu keharusan, hanya
dengan cara itu akan memberikan kekuatan kepada umat Hindu meningkatkan
keluhuran moral dan kekuatan daya tahan mental umat dalam menghadapi berbagai
AGHT kehidupan. AGHT itu adalah Ancaman, Gangguan, Hambatan dan Tantangan
hidup. Umat yang memiliki moral yang luhur dan daya tahan mental yang kuat akan
dapat mengembangkan profesinya dengan baik untuk meraih hidup yang sejahtera
lahir dan batin (Jagadhita dan Moksa). Pada kenyataannya sekarang sudah banyak
umat Hindu yang mengeluh karena acara/tradisi, adat agama Hindu itu sudah tidak
relevan lagi dan perlu direposisi dan direkontruksi disesuaikan dengan
perkembangan zaman.
Dengan
demikian pengembangan tradisi secara terus menerus melalui pembinaan yang
sistematis dan demokrasi perlu diupayakan dalam rangka menjawab tantangan zaman
yang terus berubah-ubah. Melalui cara ini umat Hindu akan selalu betah pada
pelaksanaan agamanya sehingga tidak ada keluhan-keluhan karena kakunya tradisi/ adat agama Hindu yang
diberlakukan. Sudah banyak korban yang
berjatuhan karena Kakunya
Adat Agama Hindu
(Acara Agama Hindu) yang
diterapkan di Desa Pakraman sebagai wadah pengamalan Acara Agama Hindu. Seperti
masih maraknya kasus Adat yang menggunakan Acara Agama Hindu sebagai konflik
antar umat seagama. Umumnya umat masih sangat kurang paham Tattva Agama Hindu
yang menjadi landasan dari suatu Acara Agama Hindu yang diberlakukan itu.
Akibatnya ekspresi keagamaan sebagai wujud Acara Agama Hindu sering bentertangan dengan landasan Tattvanya. Di lain sisi ada pihak-pihak tertentu yang
mengetahui bahwa telah terjadi pembiasan dari pengamalan Acara Agama Hindu,
namun dengan sengaja membiarkannya dengan suatu tujuan tertentu, seperti
keuntungan sosial dan ekonomi. Maka
kebutuhan yang mendasar
untuk keluar dari masalah ini adalah memberikan
pemahaman yang benar kepada umat Hindu di Bali, tentang kapasitas Acara Agama
Hindu sehingga tidak mudah terprokasi untuk lahan eksploitasi dari kelompok
tertentu. Namun yang jelas bahwa waktulah yang mengatur semuanya .
VIII. PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN ACARA
AGAMA HINDU
Demi
ajegnya ajaran yang bersifat Sanatana/ mutlak yang merupakan intisari dari
ajaran Veda kemudian dapat dijadikan
pegangan dan penuntun dalam meniti kehidupan di dunia ini maka ia harus
diaplikasikan dengan konsep Nutana/ relatif. Artinya aplikasi dari
Sanatana itu harus disesuaikan terus
dengan dinamika sosial umat Hindu. Karena hakekat hidup adalah perubahan atau
tranformasi individu maupun sosial. Beragama tidak hanya sebatas informasi
melainkan tranformasi. Maksudnya keberagamaan itu tidak sekedar untuk dapat
menghapal isi kitab suci. Informasi yang diserap dari kitab suci harus menghasilkan
tranformasi diri dan sosial menuju arah yang semakin baik. Tanpa adanya
transformasi diri dan sosial dalam kehidupan beragama maka beragama itu akan
menjadi beban hidup yang memberatkan masyarakat, baik disadari maupun tidak.
Sebagi
perbandingan dapat disimak pandangan DR. Rajiman Wediodingrat, bahwa untuk
menjaga dinamika perubahan budaya/cultural inovatif agar selalu bergerak menuju perubahan yang
positif maka harus diterapkan konsep TRIKON, yakni: Kontinuitas,
Konsentrisitas, Kovergensi. Dari proses TRIKON
itulah muncul inovasi budaya menuju inovasi yang semakin positif
mengantarkan masyarakat semakin sejahtera lahir batin. Inovasi atau perubahan
budaya tanpa menimbulkan kesejahteraan lahir batin maka perubahan itu adalah
perubahan yang penuh dosa.
Yang
dimaksud dengan Kontinuitas adalah bahwa dalam prubahan itu yang harus
dipertahankan adalah nilai-nilai universal yang mampu diwujudkan dalam proses
hidup berbudaya. Atau dengan kata
lain nilai-nilai budaya
yang masih relevan dengan perkembangan zaman dan
kebutuhan masyarakat hendaknya terus dilanjutkan untuk dipertahankan. Kemudian
Konsentrisitas, adalah suatu upaya untuk memilah-milah hasil-hasil budaya yang
berlangsung. Dari hasil pemilahan tersebut dilanjutkan dengan proses memilih,
nilai mana yang harus dipertahankan demikian juga nilai-nilai mana yang harus
dikembangkan untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan hidup
masyarakat. Adapun aspek budaya yang sudah usang wajib ditinggalkan. Namun
dalam mengelemenasi nilai yang sudah usang tersebut membutuhkan suatu metode
tersendiri agar jangan sampai menimbulkan gejolak sosial. Merubah aspek-aspek
budaya yang sudah tidak sesuai itu harus ditempuh dengan cara-cara persuasif
edukatif melalui proses demokrasi tanpa
pemaksaan oleh siapapun. Yang terakhir
Konvergensi adalah memadukan secara holistik dan sinergi nilai-nilai
yang sudah ada atau dimiliki dengan nilai-nilai baru yang sesuai dan cocok
dengan nilai-nilai yang sudah ada. Dari perpaduan nilai-nilai itu akan lahir inovasi
budaya. Dengan teori ini inovasi atau perubahan budaya itu tidak menimbulkan
stagnasi budaya antara budaya lama dengan budaya hasil perubahan. Jika
menimbulkan stagnasi tentu gejolak sosial tidak dapat dihindari. Oleh sebab itu
dibutuhkan sikap kehati-hatian serta kepandaian dalam mengelola masyarakat.
Dalam
membina Acara Hindu teori TRIKON ini
dapat dijadikan sumber inspirasi
sehingga proses kehidupan Acara Hindu tidak ketinggalan zaman dalam
mengatisipasi perubahan zaman. Karena itu
pengkajian-pengkajian Acara Hindu di Bali harus terus dilakukan. Dari
hasil pengkajian-pengkajian tersebut kita
akan dapat menemukan mana Acara
Hindu yang mengandung nilai universal
dan mana yang sudah ketinggalan zaman. Demikian juga dalam era
kesejagatan/globalisasi tentunya tidak mungkin umat Hindu di Bali mengisolasi
diri serta membendung masuknya budaya asing ke Bali .
Melalui pengkajian yang mendalam akan ditemukan mana budaya asing yang dapat
diserap oleh Acara Hindu dan mana yang
tidak mungkin diserap. Oleh karena itu dalam meng-up to date Acara /
tradisi keberagaan Hindu
di Bali ada
tiga langkah yang
wajib dilaksanakan yakni resestention (pertahanan), modification ( pengembangan)
dan enrichment (pengayaan). Ini artinya ada tradisi keberagamaan atau acara yang masih dapat
dipertahankan, karena masih dapat berfungsi untuk menjadi media menanamkan
Tattva dan Susila Hindu kepada umat Hindu. Tradisi ini terus dipertahankan
sepanjang masih berfungsi. Kemudian ada tradisi yang masih baik tapi mengandung
anasir-anasir yang tidak relevan lagi. Terhadap tradisi yang demikian ini perlu
diadakan modifikasi, rekontruksi atau pengembangan sehingga menjadi media yang
efektif dalam pengembangan Tattva dan Susila Hindu. Ibarat mobil tua mesinnya
masih bagus tapi bodinya telah keropos. Maka mobil itu harus diperbaharui
bodinya. Selain itu ada tradisi asing yang cocok disandingkan maupun dipadukan dengan dengan tradisi Hindu
yang sudah ada. Maka penerimaan budaya asing itu dterima sebagai memperkaya
tradisi keberagamaan yang telah ada. Bukankah
secara historik keunikan Bali terletak
pada pengayaan ini. Sebagai contoh bagaimana uang kepeng yang semula sebagai
alat tukar di negeri asalnya kemudian menjadi sarana ritual keagamaan Hindu di
Bali. Kemudian diberikan filosofis sehingga menjadi benda sakral yang bersifat
subsansi, bahkan saat ini karena
langkanya uang kepeng tersebut dibuatkan imitasinya. Demikian pula tentang
Barong Ketet, kalau kita jujur berasal dari Barong Sai Cina, masuk ke Bali
lantas dimodifiasi, diadopsi menjadi khasanah lokal Bali. Begitu pula dengan
lampion kematian Cina menjadi Damarkurung dalam upacara kematian di Bali,
bangunan Meru di Bali berasal dari Nepal . Lebih jauh kita mengenal
patracina, patramesir serta patra welanda masih banyak yang lainnya. Dengan
melihat kenyataan dan
fakta sejujurnya tradisi keragamaan di Bali secara
material untuk mengkemas Tattva dan Susila Hindu banyak sekali dikontribusi
oleh tradisi asing. Bertitik tolak dari hal di atas masihkah kita menjadi alergi
ataupun antipati terhadap perubahan serta budaya asing, lebih-lebih yang
berasal dari budaya Veda di India, seperti berkembangnya kidung-kidung versi
Sansekerta (bhajan), kenyataannya masih banyak yang mencela. Itu dilakukan demi
Ajeg Bali. Dan anehnya lagi yang mencela itu tidak tahu kidung lokal Wargasari
apalagi konsep tentang Ajeg Bali.
IX. ACARA HINDU DAN TRI KONA
Tri
Kona dalam berbagai susatra Hindu di Bali seperti Bhuana Mabah, Bhuana Kosa,
Wrhaspati Tattva merupakan sifat Kemaha Kuasaan Tuhan yang terdiri atas; Utpati
(mencipta), Sthiti (memelihara), Pralina (mendaurulang). Semua ciptaan Tuhan tidak ada yang luput dari
hukum Tri Kona tersebut. Demikian juga mengenai tradisi keberagamaan/ Acara Hindu
di Bali yang merupakan produk manusia
untuk mengkemas nilai-nilai Veda yang Sanatana juga kena hukum ini. Perubahan
tidak dapat dihindari itu artinya Acara itu bersifat Nutana / relatif atau
harus disesuaikan terus-menerus sesuai perkembangan zaman. Mempertahankan yang
relatif berarti bunuh diri.
Dalam
rangka pembinaan tradisi keberagamaan/ Acara Hindu konsep Tri Kona ini wajib
dikontekskan. Utpati artinya ciptakanlah
tradisi keberagamaan/ Acara Hindu yang baru sesuai kebutuhan umat. Tentu
menciptakan yang baru ini dengan cara-cara yang elegan dan demokrasi serta
tetap berpegang pada koridor Tattva dan Susila Hindu dengan menempatkan
supremasi nilai Weda di atas tradisi baru yang diciptakan. Utpati ini dilakukan
atas dasar aspirasi yang sudah demikian berkembang dalam masyarakat. Misalnya
dalam melakukan kegiatan Upacara Yajna. Sudah banyak aspirasi umat dari bawah
untuk merubah cara melakukan Upacara
Yajna. Tujuan yang dikehendaki adalah essensi yajna tetap ditegakkan
namun umat dapat mengikuti perubahan berbagai sistem kehidupan yang maju pesat.
Mengingat situasi masyarakat dalam menempuh kehidupan sudah mengalami
pergeseran dari sistem
agraris menuju sistem
industri jasa. Karena itu perlu diciptakan
(utpati) tradisi keberagamaan / Acara Hindu yang dapat mengantisipasi mengakomudasi
sistem kehidupan masyarakat industri jasa tersebut.
Kemudian
Sthiti artinya memelihara dan mempertahankan aspek tradisi keagamaan/
Acara Hindu yang masih relevan. Sebagai
contoh misalnya tradisi medanapunia, pesantian, tirtha yatra dan masih banyak
yang lainnya. Dalam mempertahankan
tradisi keagamaan tersebut
perlu kiranya dipadukan
dengan ilmu modern seperti tradisi medanapunia ,
perlu dibuatkan management yang rapi baik menyangkut penerimaannya maupun dalam
hal penggunaannya. Demikian juga tirthayatra perlu dipertahankan, kemudian
dibuatkan program yang matang sehingga tradisi itu dapat berjalan dengan baik.
Tirthayatra tidak saja berarti
perjalanan suci untuk Pura yang jauh-jauh saja sampai ke luar negeri, melainkan
dapat dilakukan dalam wilayah desa, kecamatan, kabupaten, propinsi. Demikian
juga tradisi Pesantian. Tradisi ini perlu dilembagakan dengan sistem organisasi
modern sehingga pesantian itu mencapai sasaran sesuai dengan tujuannya yang
benar. Wacana Mahatma Gandhi perlu kiranya direnungkan kembali, yang
menyatakan,” Berenang di lautan tradisi
adalah suatu kehindahan, namun kalau sampai tenggelam di lautan tradisi itu
merupakan ketololan.” Ini memiliki makna, bahwa di dalam mempertahankan tradisi
yang baik janganlah berpaku pada tradisi
yang kita selami, lihat pula hal-hal di luar yang kita selami sebagai
perbandingan. Seperti berenang, tidak serta merta selalu berada di dalam air,
sekali-sekali kita mendongakkan kepala ke atas air untuk melihat di sekeliling
kita. Dengan demikian kita akan melihat kelebihan dan kekurangan apa yang kita
miliki. Perbandingan yang demikian sangat penting karena dapat meredam sikap
supperior, eksklusif karena merasa diri
lebih dari yang lain. Ataupun sikap imperior terhadap tradisi yang lain.
Yang
terakhir adalah Pralina artinya mengelemenir aspek-aspek tradisi keagamaan
Hindu yang memang sudah usang tidak sesuai dengan konsep dan konteks Tattva nya
dan juga tidak patut dilanjutkan karena akan menyebabkan kita tidak
mampu mengantisipasi perkembangan
zaman yang semakin
pesat. Proses Pralina tradisi keagamaan
Hindu yang sudah ketinggalan zaman atau uzur
dan secara nyata bertentangan dengan Tattva agama Hindu harus dilakukan
segera. Jika tidak tradisi itu justru akan menodai kesucian agama. Hukum
Pralina ini akan berlaku dalam berbagai dimensi kehidupan termasuk produk dari
kehidupan itu. Acara sebagai tradisi buatan manusia juga kena hukum ini. Jika
tidak sangat berbahaya
sekali apalagi nyata-nyata
tradisi itu justru melecehkan nilai-nilai luhur
Hindu. Misalnya tradisi Upacara Yajna yang berlatar belakang wangsa, seperti
perkawinan antar wangsa, yang disebut Nyerod, sehingga mempelai wanita
dikenakan upacara Patiwangi. Dalam kasus menjadi Rabi, mempelai wanita diupacarai /natab dengan
keris dan sesaka, kemudian mempelai pria tidak mau sembahyang di tempat
mempelai wanita karena merasa lebih tinggi. Padahal membedakan tinggi rendah
umat berdasarkan kewangsaan tidak dikenal dalam ajaran agama Hindu yang
bersumber dari Veda. Termasuk kasus nyiratin tirtha kepada wangsa tertentu oleh Pemangku yang dipandang Jaba. Adanya
kasus di atas ini tidak lebih dari
Ekspressi Arogansi Wangsa. Tradisi sesat
ini masih sulit untuk dipralina, sebabnya umat masih bodoh sehingga berada pada
posisi sulit dan terjepit. Selain itu elit umat Hindu yang duduk dilembaga
birokrasi dan lembaga umat didominasi oleh mereka yang merasa Wangsanya lebih
tinggi akibatnya terjadilah perselingkuhan antara elit birokrasi, politik
sebagai penentu kebijakan dengan elit agama. Jika demikian adanya terjadilah
agama menurut selera Sang Penguasa. Jika ada gerakan, kita sebut saja kelompok
reformis yang ingin memposisikan supremasi
nilai-nilai Veda di atas tradisi semacam di atas, kelompok status quo
akan kebakaran jenggot. Kelompok status quo menuding kelompok reformis sebagai
gerakan menghancurkan Bali . Memang kalau kita
kembali pada Veda, kelompok status quo akan rugi karena mereka hidup serta
memperoleh keuntungan secara sosial politik dan material dari tradisi yang sesat
itu. Padahal dengan tegas dinyatakan
dalam kitab suci, bahwa kualitas seseorang tidak ditentukan oleh kelahiran dari
mana ia berasal. Veda membedakan martabat manusia atas dasar prilaku/karmanya.
Justru bagi mereka yang angkuh (darpo),
membanggakan diri (abhimanas), kurang ajar (parusya) mengagungkan
Wangsanya (abhijanavan ) menurut Bhagavadgita XVI. 4, 15 tergolong ke
dalam sifat Asura atau Raksasa. Dalam kekawin Nitisastra disebut Kula Kulina
yang artinya merasa berwangsa tinggi. Persepsi yang demikian sesungguhnya
merupakan salah satu dari tujuh kegelapan
yang disebut Saptatimira.
Mralina tradisi yang
sesat itu adalah perjuangan mulia, namun tinggi
resikonya dan itulah yajna bagi suatu perjuangan.
X. PENUTUP /SIMPULAN
Demikian
yang dimaksud dengan tradisi keagamaan/acara dalam agama Hindu dengan berbagai
perspektifnya. Sehingga tidak ada lagi anggapan bahwa adat dan budaya di Bali tidak bisa dipisahkan dengan agama Hindu. Adat dan
tradisi keagamaan senantiasa berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman yang
bersifat Nutana sementara nilai-nilai agama Hindu bersifat ajeg dan kekal atau
Sanatana. Oleh sebab itu tradisi keagamaan patut dipertahankan jika masih
relavan atau diperbaharui jika telah mengalami bias bahkan patut dimusnahkan
jika merongrong kesucian dari nilai-nilai Hindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar