Tutur Blog Bagian 1 :
“Kerangka Dasar Agama Hindu“ *)
Oleh : I Nengah Sumendra *)
Ajaran agama Hindu dibangun dalam tiga kerangka dasar,
yaitu tattwa, susila, dan acara agama. Ketiganya adalah satu kesatuan integral
yang tak terpisahkan serta mendasari tindak keagamaan umat Hindu. Tattwa adalah
aspek pengetahuan agama atau ajaran-ajaran agama yang harus dimengerti dan
dipahami oleh masyarakat terhadap aktivitas keagamaan yang dilaksanakan. Susila
adalah aspek pembentukan sikap keagamaan yang menuju pada sikap dan perilaku
yang baik sehingga manusia memiliki kebajikan dan kebijaksanaan, wiweka jnana. Sementara
itu aspek acara adalah tata cara pelaksanaan ajaran agama yang diwujudkan dalam
tradisi upacara sebagai wujud simbolis komunikasi manusia dengan Tuhannya.
Acara agamaadalah wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widdhi Wasa dan seluruh
manifestasi-Nya. Pada dasarnya acara agama dibagi menjadi dua, yaitu upacara
dan upakara. Upacara berkaitan dengan tata cara ritual, seperti tata cara
sembahyang, hari-hari suci keagamaan (wariga), dan rangkaian upacara (eed).
Sebaliknya, upakara adalah sarana yang dipersembahkan dalam upacara keagamaan.
Dalam fenomena keberagamaan Hindu di Nusantara, acara agama
tampaknya lebih menonjol dibandingkan dengan aspek lainnya. Acara agama yang
seringkali juga disebut upacara atau ritual keagamaan merupakan pengejawantahan
dan tattwa dan susila agama Hindu. Acara agama meliputi keseluruhan dari aspek
persembahan dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa
yang disebut yadnya. Pada dasarnya yadnya dalam agama Hindu dapat dibagi
menjadi dua, yakni nitya karma dan naimittika karma. Nitya yadnya adalah yadnya
yang dilaksanakan sehari-hari, misalnya mensucikan tri kaya parisudha, belajar
dengan tekun, yadnya sesa atau mesaiban. Sebaliknya, naimittika yadnya adalah
yadnya yang dilaksanakan secara berkala atau pada waktu-waktu tertentu,
misalnya pada saat piodalan, rerahinan, dan hari raya keagamaan Hindu lainnya.
Memahami Kerangka Dasar Agama Hindu begitu sangat penting
mengingat Agama Hindu yang diwarisi di Nusantara sekarang merupakan kelanjutan
dari mashab Saivasiddhanta yang mulanya berkembang di India Selatan. Akan
tetapi perkembangannya lebih lanjut beradaptasi dengan kebudayaan setempat dan
membentuk kebudayaan baru. Kearifan lokal Nusantara menjadi kekuatan
filterisasi yang memiliki kemampuan untuk menyeleksi pengaruh segala jenis
kebudayaan dari India. Hal ini menjadikan kebudayaan asli daerah tampak eksis
mendukung pelaksanaan agama Hindu yang datang belakangan. Artinya, agama Hindu
yang datang dari India berinteraksi dengan kebudayaan asli daerah sehingga
menjadikan agama Hindu di Nusantara mempunyai warna yang berbeda dengan
induknya, India. Seperti dikemukakan oleh Bosch (Ayatrohaedi, 1986:72) bahwa
unsur kebudayaan India sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan
kebudayaan Hindu di Nusantara, yang tetap memperlihatkan kekhasannya. Kearifan
lokal (local genius) inilah yang sesungguhnya menjadikan agama Hindu di
Nunsantara, khususnya di Bali, tampak berbeda dengan pelaksanaan Agama Hindu di
India.
Mashab Saiwasidhanta mendasarkan filosofinya pada Siwatattwa.
Siwatattwa mengajarkan bahwa Tuhan yang tertinggi adalah Bhatara Siwa. Bhatara Siwa
adalah asal dan kembalinya segala yang ada. Beliau adalah Brahman bagi
Upanisad, Maha Wisnu bagi Waisnawa, Khrisna bagi Bhagavadgita, dan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa bagi umat Hindu di Nusantara. Dalam Jnanasidhanta dikatakan
bahwa Bhatara Siwa Yang Esa dipuja dalam yang banyak dan yang banyak dalam Yang
Esa (Ekatva anekatva svalaksana Bhatara). Sejalan dengan ini, Weda mengatakan
“ekam sat viprah bahuda vadanti”, Engkau yang tunggal dipuja dalam banyak nama.
Jadi, secara esensial tattwa yang dianut oleh umat Hindu di Nusantara terkhusus
di Bali tidaklah berbeda dengan konsepsi ketuhanan dalam Weda. Artinya, Agama
Hindu yang selama ini diwarisi di Nusantara tidak bertentangan dengan ajaran Weda
sebagai sumber tertinggi Agama Hindu.
Tattwa, berasal dari kata tat dan twa. Tat berarti ”itu” dan
twa juga berarti ”itu”. Jadi secara leksikal kata tattwa berarti ”ke-itu-an”.
Dalam makna yang lebih mendalam kata tattwabermakna ”kebenaranlah itu”.
Kerapkali tattwa disamakan dengan filsafat ketuhanan atau teologi. Di satu
sisi, tattwa adalah filsafat tentang Tuhan, tetapi tattwa memiliki dimensi lain
yang tidak didapatkan dalam filsafat, yaitu keyakinan. Filsafat merupakan
pergumulan pemikiran yang tidak pernah final, tetapi tattwa adalah pemikiran
filsafat yang akhirnya harus diyakini kebenarannya. Sebagai contoh, Wisnu
disimbolkan dengan warna hitam, berada di utara, dan membawa senjata cakra. Ini
adalah tattwa yang harus diyakini kebenarannya, sebaliknya filsafat boleh
mempertanyakan kebenaran dari pernyataan tersebut. Oleh sebab itu dalam
terminologi Hindu, kata tattwa tidak dapat didefinisikan sebagai filsafat
secara an sich, tetapi lebih tepat didefinisikan sebagai dasar keyakinan Agama
Hindu. Sebagai dasar keyakinan Hindu, tattwa mencakup lima hal yang disebut
Panca Sradha (Widhi Tattwa, Atma Tattwa, Karmaphala Tattwa, Punarbhawa Tattwa,
dan Moksa Tattwa).
Susila, berasal dari kata ”su” dan ”sila”. Su berarti baik,
dan sila berarti dasar, perilaku atau tindakan. Secara umum susila diartikan
sama dengan kata ”etika”. Definisi ini kurang lebih tepat karena susila bukan
hanya berbicara mengenai ajaran moral atau cara berperilaku yang baik, tetapi
juga berbicara mengenai landasan filosofis yang mendasari suatu perbuatan baik
harus dilakukan. Bandingkan dengan kata ”etika” yang berarti filsafat moral.
Sebaliknya, kata ”moral” berarti ajaran tentang tingkah laku yang baik.
Perbuatan ”membunuh” misalnya, secara moral tindakan membunuh dilarang untuk
dilakukan, tetapi ”etika” memberikan landasan bahwa tidak semua tindakan
membunuh adalah dilarang. Tindakan membunuh yang dilarang adalah ketika
didasari oleh rasa kebencian dan kemarahan, sebaliknya membunuh bagi seorang
tentara dalam sebuah peperangan dibenarkan secara etika. Sampai di sini jelas
bahwa antara ”moral” dan ”etika” dibedakan secara konseptual. Moral selalu
menjadi bagian dari etika, tetapi etika belum tentu masalah moral karena etika
berbicara tentang ”perilaku baik” yang harus dilakukan manusia dalam
aspek-aspek kehidupan yang lebih luas. Moral adalah etika-etika khusus yang
berlaku dalam skup tertentu. Etika Hindu, etika Islam, etika Kristen, etika
Bali, etika Jawa, etika bisnis dan seterusnya merupakan ajaran moral yang dianjurkan
oleh masing-masing institusi tertentu, baik institusi agama maupun institusi
sosial. Suatu tindakan yang dianggap bermoral di suatu komunitas, belum tentu
bermoral di komunitas yang lain. Merujuk pada perbedaan definisi di atas,
terminologi kata ”susila” lebih tepat diterjemahkan dalam kata etika karena
memberikan landasan suatu perbuatan. Perintah Sri Khrisna kepada Arjuna untuk
membunuh Guru-gurunya secara moral tidak dapat dibenarkan karena tindakan
membunuh terlarang dilakukan. Akan tetapi secara etika hal itu dibenarkan
karena melenyapkan kejahatan adalah kewajiban dari seorang ksatrya.
Acara (upacara/upakara), sementara kata acara berasal dari
bahasa Sankerta yang menurut Sanskrit-English Dictionary karangan Sir Moonier
Williems (Sudharma, 2000:1) bahwa kata ”acara” antara lain diartikan sebagai
berikut. Tingkah laku atau perbuatan yang baik; Adat
istiadat; Tradisi atau kebiasaan yang merupakan tingkah laku manusia baik
perseorangan maupun kelompok masyarakat yang didasarkan atas kaidah-kaidah hukum
yang ajeg. Dalam bahasa Kawi mempunyai tiga pengertian sesuai dengan sistem
penulisannya (ācāra, acāra, dan acara). Kata ācāra berarti kelakuan,
tindak-tanduk, kelakuan baik, adat, praktik, dan peraturan yang telah mantap.
Kata acāra bermakna pergi bersama atau teman. Dapat dibandingkan dengan kata
cāraka yang bermakna teman atau ia yang pergi bersama. Dalam bahasa Bali
diterjemahkan dengan kata parēkan yang bermakna ia yang selalu dekat. Sedangkan
kata acara berarti tidak berjalan. Bandingkan dengan kata carācara yang berarti
tumbuh-tumbuhan, dengan makna yang tidak dapat berjalan. Dari ketiga makna
tersebut, makna yang digunakan dalam pengertian Acara Agama Hindu ialah makna
yang pertama (ācāra), yang memiliki pengertian : (1) Kelakuan, tindak-tanduk,
atau kelakuan baik dalam pelaksanaan agama Hindu; (2) adat atau suatu praktik
dalam pelaksanaan agama Hindu; dan (3) peraturan yang telah mantap dalam
pelaksanaan Agama Hindu. Pengertian dari kata acara juga ditemukan dalam kitab
Sarasamuccaya (177), sebagai berikut:
”nihan pajara mami,
phala sang hyang weda inaji, kapujan sang hyang siwagni, rapwan wruhing mantra,
yajnangga widdhiwaidhanadi, dening dana hinanaken, bhuktin danakena, yapwan
dening anakbi, dadyaning alingganadi krida mahaputri-santana, kuneng phala sang
hyang aji kinawruhan, haywaning gila ngaraning swabhawa, ācāra ngaraning
prawrtti kawaran ring aji”
Artinya:
Inilah yang hendak hamba beritahukan, gunanya kitab suci Weda
itu dipelajari, Siwagni patut dipuja, patut diketahui mantra serta bagian-bagian
dari korban kebaktian, widhi-widhana dan lain-lainnya. Adapun gunanya harta
kekayaan disediakan adalah untuk dinikmati dan disederhanakan, akan gina wanita
adalah untuk menjadi istri dan melanjutkan keturunan baik pria dan wanita, guna
sastra suci adalah untuk diketahui dan diamalkan, ācāra adalah tindakan yang
sesuai dengan ajaran agama.
Dari ketiga pengertian Tri Kerangka Agama Hindu di atas
semakin jelas bahwa ketiganya memang tidak dapat dipisahkan. Tattwa menjadi
landasan teologis dari semua bentuk pelaksanaan ajaran agama Hindu. Susila
menjadi landasan etis dari semua perilaku umat Hindu dalam hubungannya dengan
Tuhan, sesama manusia, dan dengan alam lingkungannya. Sedangkan ācāra menjadi
landasan prilaku keagamaan, tradisi, dan kebudayaan religius. Ācāra mengimplementasikan
tattwa dan susila dalam wujud tata keberagamaan yang lebih riil dalam dimensi
kebudayaan. Tanpa adanya ācāra, agama hanyalah seperangkat ajaran yang tidak
akan nampak dalam dunia fenomenal. Secara sosio-antropologis, ācāra menjadi
identitas suatu agama karena ia melembaga dalam sebuah sistem tindakan.
Sebaliknya, tattwa (ketuhanan) sangat abstrak sifatnya, demikian halnya dengan
susila yang tidak hanya dibentuk oleh agama, melainkan juga oleh tradisi, adat,
kebiasaan, tata nilai dan norma-norma sosial. (Unaaha, 21/09/2019-INS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar