MOTTO

RUKUN DAMAI

OPTIMASLISASI PELAYANAN PUBLIK PADA KANTOR KEMENAG KABUPATEN KONAWE MELALUI SIMADU

INTELEKTUALITAS TANPA SILAYUKTI TANPA GUNA

INTELEKTUALITAS TANPA SILAYUKTI TANPA GUNA
Disaat pengetahuan hanya menjadi sebuah ajang untuk menunjukkan intelektualitas, kewibaan, kekuasaan, kebijaksanaan...yang berujung pada rusaknya moralitas dan kedamaian kehidupan....Saraswati dalam keheningan bertanya-tanya kepada Ia atau mereka yang seperti itu...?. Aparan ta prayojananika ring hurip, ring wibhawa, ring kaprajnan, apan wyartha ika kabeh, yan tan tan hana SILAYUKTI. (Sarasamuccaya 160)

WEBSITE UTAMA KANKEMENAG KABUPATEN KONAWE

WEBSITE UTAMA KANKEMENAG KABUPATEN KONAWE
Website Kantor Kementerian Agama Kabupaten dengan alamat : "www.simadu.info", adalah Website Utama sebagai Pusat Bank Data dan Informasi bagi seluruh satker di Lingkup KanKemenag Kab. Konawe. Sedangkan Website Satker Penyelenggara Bimas Hindu Kantor Kemenag Kab. Konawe adalah website jejaring yang terintegrasi dengan Website Utama KanKemenag Kab. Konawe. Klik gambar pada link ini untuk menuju ke Website Utama KanKemenag Kab. Konawe

Sabtu, 21 September 2019

Tutur Blog Bagian 1 : " Kerangka Dasar Agama Hindu "


Tutur Blog Bagian 1 :
“Kerangka Dasar Agama Hindu“ *)
Oleh : I Nengah Sumendra *)
Tri Kerangka Dasar Agama Hindu Dasar Pijakan-ku
Tattwa, Susila dan Acara Hindu Prinsip Dasar Sadhana-ku

  
Sisya :
Om Swastyastu Guru.

Acharya :
Om Swastyastu Ananda.

Acharya :
Guru. Apa yang menjadi kerangka dasar Agama Hindu ?.  
Pertanyaan yang bagus dan mendasar, Ananda. Kerangka Dasar Agama Hindu yaitu Tattwa, Susila dan Acara. Ketiga hal tersebut disebut dengan Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.

Sisya :
Guru, mengapa Kerangka Dasar Agama Hindu itu menjadi hal yang mendasar bagi umat Hindu dalam melaksanakan dan menjalani aktivitas keberagamaan maupun  kehidupan sehari-harinya...?

Acharya :
Tri Kerangka Dasar Agama Hindu itu menjadi pilar dan dasar bagi umat Hindu dalam melaksanakan aktivitas keberagamaan dan kehidupannya sehari-hari agar sesuai dengan prinsip-prinsip dasar keimanan, kebajikan dan acara keagamaan Hindu. Mempedomani dan mensadhankannya secara baik dan seimbang dapat mengantarkan kehidupan umat Hindu pada kehidupan yang lebih baik dan mencapai kecemerlangan.

Sisya :
Astungkara, matur suksma Guru. Mulai saat ini ananda akan terus belajar dengan sungguh-sungguh agar dapat memahami dan mendalami Tri Kerangka Dasar
Ajaran agama Hindu dibangun dalam tiga kerangka dasar, yaitu tattwa, susila, dan acara agama. Ketiganya adalah satu kesatuan integral yang tak terpisahkan serta mendasari tindak keagamaan umat Hindu. Tattwa adalah aspek pengetahuan agama atau ajaran-ajaran agama yang harus dimengerti dan dipahami oleh masyarakat terhadap aktivitas keagamaan yang dilaksanakan. Susila adalah aspek pembentukan sikap keagamaan yang menuju pada sikap dan perilaku yang baik sehingga manusia memiliki kebajikan dan kebijaksanaan, wiweka jnana. Sementara itu aspek acara adalah tata cara pelaksanaan ajaran agama yang diwujudkan dalam tradisi upacara sebagai wujud simbolis komunikasi manusia dengan Tuhannya. Acara agamaadalah wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widdhi Wasa dan seluruh manifestasi-Nya. Pada dasarnya acara agama dibagi menjadi dua, yaitu upacara dan upakara. Upacara berkaitan dengan tata cara ritual, seperti tata cara sembahyang, hari-hari suci keagamaan (wariga), dan rangkaian upacara (eed). Sebaliknya, upakara adalah sarana yang dipersembahkan dalam upacara keagamaan.

Dalam fenomena keberagamaan Hindu di Nusantara, acara agama tampaknya lebih menonjol dibandingkan dengan aspek lainnya. Acara agama yang seringkali juga disebut upacara atau ritual keagamaan merupakan pengejawantahan dan tattwa dan susila agama Hindu. Acara agama meliputi keseluruhan dari aspek persembahan dan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut yadnya. Pada dasarnya yadnya dalam agama Hindu dapat dibagi menjadi dua, yakni nitya karma dan naimittika karma. Nitya yadnya adalah yadnya yang dilaksanakan sehari-hari, misalnya mensucikan tri kaya parisudha, belajar dengan tekun, yadnya sesa atau mesaiban. Sebaliknya, naimittika yadnya adalah yadnya yang dilaksanakan secara berkala atau pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada saat piodalan, rerahinan, dan hari raya keagamaan Hindu lainnya.

Memahami Kerangka Dasar Agama Hindu begitu sangat penting mengingat Agama Hindu yang diwarisi di Nusantara sekarang merupakan kelanjutan dari mashab Saivasiddhanta yang mulanya berkembang di India Selatan. Akan tetapi perkembangannya lebih lanjut beradaptasi dengan kebudayaan setempat dan membentuk kebudayaan baru. Kearifan lokal Nusantara menjadi kekuatan filterisasi yang memiliki kemampuan untuk menyeleksi pengaruh segala jenis kebudayaan dari India. Hal ini menjadikan kebudayaan asli daerah tampak eksis mendukung pelaksanaan agama Hindu yang datang belakangan. Artinya, agama Hindu yang datang dari India berinteraksi dengan kebudayaan asli daerah sehingga menjadikan agama Hindu di Nusantara mempunyai warna yang berbeda dengan induknya, India. Seperti dikemukakan oleh Bosch (Ayatrohaedi, 1986:72) bahwa unsur kebudayaan India sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan kebudayaan Hindu di Nusantara, yang tetap memperlihatkan kekhasannya. Kearifan lokal (local genius) inilah yang sesungguhnya menjadikan agama Hindu di Nunsantara, khususnya di Bali, tampak berbeda dengan pelaksanaan Agama Hindu di India.

Mashab Saiwasidhanta mendasarkan filosofinya pada Siwatattwa. Siwatattwa mengajarkan bahwa Tuhan yang tertinggi adalah Bhatara Siwa. Bhatara Siwa adalah asal dan kembalinya segala yang ada. Beliau adalah Brahman bagi Upanisad, Maha Wisnu bagi Waisnawa, Khrisna bagi Bhagavadgita, dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa bagi umat Hindu di Nusantara. Dalam Jnanasidhanta dikatakan bahwa Bhatara Siwa Yang Esa dipuja dalam yang banyak dan yang banyak dalam Yang Esa (Ekatva anekatva svalaksana Bhatara). Sejalan dengan ini, Weda mengatakan “ekam sat viprah bahuda vadanti”, Engkau yang tunggal dipuja dalam banyak nama. Jadi, secara esensial tattwa yang dianut oleh umat Hindu di Nusantara terkhusus di Bali tidaklah berbeda dengan konsepsi ketuhanan dalam Weda. Artinya, Agama Hindu yang selama ini diwarisi di Nusantara tidak bertentangan dengan ajaran Weda sebagai sumber tertinggi Agama Hindu.

Tattwa, berasal dari kata tat dan twa. Tat berarti ”itu” dan twa juga berarti ”itu”. Jadi secara leksikal kata tattwa berarti ”ke-itu-an”. Dalam makna yang lebih mendalam kata tattwabermakna ”kebenaranlah itu”. Kerapkali tattwa disamakan dengan filsafat ketuhanan atau teologi. Di satu sisi, tattwa adalah filsafat tentang Tuhan, tetapi tattwa memiliki dimensi lain yang tidak didapatkan dalam filsafat, yaitu keyakinan. Filsafat merupakan pergumulan pemikiran yang tidak pernah final, tetapi tattwa adalah pemikiran filsafat yang akhirnya harus diyakini kebenarannya. Sebagai contoh, Wisnu disimbolkan dengan warna hitam, berada di utara, dan membawa senjata cakra. Ini adalah tattwa yang harus diyakini kebenarannya, sebaliknya filsafat boleh mempertanyakan kebenaran dari pernyataan tersebut. Oleh sebab itu dalam terminologi Hindu, kata tattwa tidak dapat didefinisikan sebagai filsafat secara an sich, tetapi lebih tepat didefinisikan sebagai dasar keyakinan Agama Hindu. Sebagai dasar keyakinan Hindu, tattwa mencakup lima hal yang disebut Panca Sradha (Widhi Tattwa, Atma Tattwa, Karmaphala Tattwa, Punarbhawa Tattwa, dan Moksa Tattwa).

Susila, berasal dari kata ”su” dan ”sila”. Su berarti baik, dan sila berarti dasar, perilaku atau tindakan. Secara umum susila diartikan sama dengan kata ”etika”. Definisi ini kurang lebih tepat karena susila bukan hanya berbicara mengenai ajaran moral atau cara berperilaku yang baik, tetapi juga berbicara mengenai landasan filosofis yang mendasari suatu perbuatan baik harus dilakukan. Bandingkan dengan kata ”etika” yang berarti filsafat moral. Sebaliknya, kata ”moral” berarti ajaran tentang tingkah laku yang baik. Perbuatan ”membunuh” misalnya, secara moral tindakan membunuh dilarang untuk dilakukan, tetapi ”etika” memberikan landasan bahwa tidak semua tindakan membunuh adalah dilarang. Tindakan membunuh yang dilarang adalah ketika didasari oleh rasa kebencian dan kemarahan, sebaliknya membunuh bagi seorang tentara dalam sebuah peperangan dibenarkan secara etika. Sampai di sini jelas bahwa antara ”moral” dan ”etika” dibedakan secara konseptual. Moral selalu menjadi bagian dari etika, tetapi etika belum tentu masalah moral karena etika berbicara tentang ”perilaku baik” yang harus dilakukan manusia dalam aspek-aspek kehidupan yang lebih luas. Moral adalah etika-etika khusus yang berlaku dalam skup tertentu. Etika Hindu, etika Islam, etika Kristen, etika Bali, etika Jawa, etika bisnis dan seterusnya merupakan ajaran moral yang dianjurkan oleh masing-masing institusi tertentu, baik institusi agama maupun institusi sosial. Suatu tindakan yang dianggap bermoral di suatu komunitas, belum tentu bermoral di komunitas yang lain. Merujuk pada perbedaan definisi di atas, terminologi kata ”susila” lebih tepat diterjemahkan dalam kata etika karena memberikan landasan suatu perbuatan. Perintah Sri Khrisna kepada Arjuna untuk membunuh Guru-gurunya secara moral tidak dapat dibenarkan karena tindakan membunuh terlarang dilakukan. Akan tetapi secara etika hal itu dibenarkan karena melenyapkan kejahatan adalah kewajiban dari seorang ksatrya.

Acara (upacara/upakara), sementara kata acara berasal dari bahasa Sankerta yang menurut Sanskrit-English Dictionary karangan Sir Moonier Williems (Sudharma, 2000:1) bahwa kata ”acara” antara lain diartikan sebagai berikut. Tingkah laku atau perbuatan yang baik; Adat istiadat; Tradisi atau kebiasaan yang merupakan tingkah laku manusia baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang didasarkan atas kaidah-kaidah hukum yang ajeg. Dalam bahasa Kawi mempunyai tiga pengertian sesuai dengan sistem penulisannya (ācāra, acāra, dan acara). Kata ācāra berarti kelakuan, tindak-tanduk, kelakuan baik, adat, praktik, dan peraturan yang telah mantap. Kata acāra bermakna pergi bersama atau teman. Dapat dibandingkan dengan kata cāraka yang bermakna teman atau ia yang pergi bersama. Dalam bahasa Bali diterjemahkan dengan kata parēkan yang bermakna ia yang selalu dekat. Sedangkan kata acara berarti tidak berjalan. Bandingkan dengan kata carācara yang berarti tumbuh-tumbuhan, dengan makna yang tidak dapat berjalan. Dari ketiga makna tersebut, makna yang digunakan dalam pengertian Acara Agama Hindu ialah makna yang pertama (ācāra), yang memiliki pengertian : (1) Kelakuan, tindak-tanduk, atau kelakuan baik dalam pelaksanaan agama Hindu; (2) adat atau suatu praktik dalam pelaksanaan agama Hindu; dan (3) peraturan yang telah mantap dalam pelaksanaan Agama Hindu. Pengertian dari kata acara juga ditemukan dalam kitab Sarasamuccaya (177), sebagai berikut:

”nihan pajara mami, phala sang hyang weda inaji, kapujan sang hyang siwagni, rapwan wruhing mantra, yajnangga widdhiwaidhanadi, dening dana hinanaken, bhuktin danakena, yapwan dening anakbi, dadyaning alingganadi krida mahaputri-santana, kuneng phala sang hyang aji kinawruhan, haywaning gila ngaraning swabhawa, ācāra ngaraning prawrtti kawaran ring aji”

Artinya:
Inilah yang hendak hamba beritahukan, gunanya kitab suci Weda itu dipelajari, Siwagni patut dipuja, patut diketahui mantra serta bagian-bagian dari korban kebaktian, widhi-widhana dan lain-lainnya. Adapun gunanya harta kekayaan disediakan adalah untuk dinikmati dan disederhanakan, akan gina wanita adalah untuk menjadi istri dan melanjutkan keturunan baik pria dan wanita, guna sastra suci adalah untuk diketahui dan diamalkan, ācāra adalah tindakan yang sesuai dengan ajaran agama.

Dari ketiga pengertian Tri Kerangka Agama Hindu di atas semakin jelas bahwa ketiganya memang tidak dapat dipisahkan. Tattwa menjadi landasan teologis dari semua bentuk pelaksanaan ajaran agama Hindu. Susila menjadi landasan etis dari semua perilaku umat Hindu dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, dan dengan alam lingkungannya. Sedangkan ācāra menjadi landasan prilaku keagamaan, tradisi, dan kebudayaan religius. Ācāra mengimplementasikan tattwa dan susila dalam wujud tata keberagamaan yang lebih riil dalam dimensi kebudayaan. Tanpa adanya ācāra, agama hanyalah seperangkat ajaran yang tidak akan nampak dalam dunia fenomenal. Secara sosio-antropologis, ācāra menjadi identitas suatu agama karena ia melembaga dalam sebuah sistem tindakan. Sebaliknya, tattwa (ketuhanan) sangat abstrak sifatnya, demikian halnya dengan susila yang tidak hanya dibentuk oleh agama, melainkan juga oleh tradisi, adat, kebiasaan, tata nilai dan norma-norma sosial. (Unaaha, 21/09/2019-INS)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar